Aku tak tahu apa yang akan terjadi. Aku tak mengenal mereka. Aku pun pasrah sampai saat itu tiba.
“Pluk!” seperti selembar daun jatuh di hamparan tanah, aku berada di antara ratusan manusia yang datang dari berbagai penjuru nusantara. Setiap wajah yang kulihat adalah karakter yang unik dan berbeda satu sama lain. Ada beberapa yang kukenal, banyak sekali yang tak kukenal. Aku mengafirmasi diri bahwa kehadiranku di sini, di tengah sekira lebih dari 340 orang akan memberikan manfaat buatku. Aku akan mendapatkan hal baru dari mereka.
Berada di lingkungan baru, di antara orang-orang yang belum dikenal, bukan masalah buatku. Justru ini adalah saat yang menyenangkan: aku akan dapat teman baru dengan segala keunikannya!
“Selamat siang, Abang!” Adek dari Nusa Tenggara Timur adalah yang pertamakali menyapaku. Ia minta izin nge-Vlog denganku. Jadilah kami berbincang tentang asal dan tentang pertemuan di hotel yang punya sekira 580 kamar ini, hotel Marbella Anyer.
Ia menanyakan asal syal yang aku kenakan. Aku bilang dari desa adat Fatumnasi di Timor Tengah Selatan. “Abang orang Jakarta tapi mau pakai syal dari Timur. Kenapa, bang?” tanyanya dengan senyum ramah. Jujur, ini adalah pertanyaan yang sulit kujawab. Tapi ia mendesak.
“Kenapa ya. Bingung aku jawabnya. Tapi aku pakai syal ini karena aku lihat orang Timur sendiri jarang yang mau pakai… hahaha…” kami pun tertawa.
Anak muda itu pamit mencari orang lain yang mau diajak vlogging. Kuseruput kopi yang masih tersisa setengah gelas. Di sebelahku rupanya duduk 4 orang dengan wajah yang seperti tak asing. Melihat mereka seperti melihat 4 orang yang pernah memengaruhiku saat masih muda belia. Dulu di tahun 1988 aku pernah berada di sarang 4 orang Madura. 1 dari Bangkalan, 3 dari Sumenep. Merekalah yang menjerumuskan aku dalam kehidupan yang keras namun berakhir bijaksana.
Teman-teman dari Madura, tepatnya Sumenep ini menjadi kelompok pertama yang nyantol di hatiku. Pada lingkaran merekalah aku kerap kembali dan duduk bersama usai mengikuti berbagai sesi dari kegiatan yang dikelola Jaringan Kampung Nasional dan BPIP ini.
Selanjutnya satu persatu kawan yang kukenal dan yang belum pun berdatangan. Yudi yang selalu Randa datang minta sebatang rokok sebab di pesawat Garuda tak ada kios rokok. Kami berbincang soal dulu, kemarin, dan hari ini. Berbincang tentang teman-teman kami di Aceh dan juga cerita tentang Garuda, sempak baru, dan terutama soal bendera GAM yang nyaris terpasang di rumahku saat Agustusan kemarin.
Tak kuduga, teman-teman dari Ambon pun hadir. Sekira 15 orang. Wah, banyak sekali. Gembira sekali aku bisa bertemu orang-orang yang benar-benar bekerja nyata di kampungnya masing-masing. Lalu satu persatu hingga matahari terbenam aku bertemu dengan kawan lama dari Palembang, Makassar, Yogya, Padang, Surabaya, Banten, NTB, NTT, Medan, Bekasi, Pangandaran, Banjarmasin, Papua, dan ah, ini benar-benar di luar dugaan. “Ini berkah Tuhan!” Gumamku.
Bahkan aku bertemu dengan seorang anak yang kini telah dewasa. 11 Tahun lalu saat aku berbincang dengan ayahnya sebelum menulis buku berjudul “Biarkan Baduy Bicara”, ia masih belia. Kini ia hadir mewakili suku Baduy di perhelatan para pengabdi kampung, 26-30 Oktober 2019. Bangga dan bahagia melihat Mursid, yang namanya disandingkan sebagai nama panggilan ayahnya — Ayah Mursid, seorang Juru Bicara suku Baduy Dalam– turut hadir di acara penuh kebersamaan ini.
Satu persatu pintu terbuka, satu persatu terjalin keakraban dengan hampir seluruh peserta kegiatan yang resminya bernama Persamuhan Nasional Pembakti Kampung. Acara kolaboratif ini mempertemukan para pegiat kampung untuk saling berbagi informasi, pengalaman, strategi, dan segala macam potensi kampungnya untuk bisa diduplikasi maupun berkolaborasi dengan peserta dari kampung lainnya. Ini benar-benar acara dengan semangat kolaborasi yang amat tinggi. Di acara inilah aku benar-benar menyaksikan pita yang selama ini menjadi semboyan negara kita. Pita pada cengkeraman kaki burung Garuda, “Bhinneka Tunggal Ika”.
Kebinekaan sungguh terasa di sini dan kebinekaan itu nyata-nyata menyatu di sini. Aku hanyut dalam gelombang kebinekaan saat kami melangsungkan upacara Sumpah Pemuda di tepian pantai Anyer. Semua teman berbaur dan berkolaborasi menciptakan hiburan bersama dengan bahasa, tarian, puisi, dan segala bebunyian khas tanah mereka.
Aku merasakan kekuatan yang begitu dahsyat dari masyarakat kampung dalam mewujudkan semboyan bangsa: Bhinneka Tunggal Ika. Merekalah yang menyembuhkan kesedihan bagi anak bangsa yang sempat khawatir melihat perilaku politik bangsa ini pada saat PEMILU kemarin. di mana kita terbelah menjadi dua kubu ekstrim yang saling menyerang dengan caci-maki hingga persekusi. Bahkan ada yang sampai masuk jeruji besi. Seolah inilah kehancuran bangsa. Seolah Bhinneka Tinggal Asa.
Tapi aku percaya, masyarakat kita, terutama orang-orang kampung inilah yang selalu mengobati luka bangsa. Merekalah yang selalu kuat melawan beragam ancaman kebangsaan. Merekalah yang biasa menjadi perisai atas beragam persoalan intoleransi, ekstrimisme, dan juga persoalan ekonomi.
Melihat kebersamaan dan kolaborasi teman-teman beragam suku dan bahasa, menumbuhkan optimisme bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar dan tak akan lengah di tengah gencaran paham khilafah ataupun NKRI Bersyariah.
#ceritapancasila
Malam hampir usai. Sebentar lagi matahari akan terbit. Kami, orang-orang kampung yang bercengkarama di tepi pantai kembali ke tempat masing-masing. Kembali ke kampung masing-masing. Kembali ke kehidupan dengan segala tantangannya. Kembali mengabdi pada masyarakat yang selalu merindukan orang-orang terbaik dari kampungnya. Aku bangga dan bahagia bertemu dengan mereka yang menyebut diri orang-orang kampung. Aku mendapatkan banyak hikmah dan pertemanan berkat terkepung di tengah orang-orang kampung. Andai bisa memecah tubuh satu ini, kuikut pulang bersama ke kampung-kampung mereka.
Anyer, 30 Oktober 2019 | Kalian, sungguh apa adanya!
Leave a Reply