Pernah nggak, pas temanmu ngajak ngobrol, kamu ngerasa obrolannya kurang seru dan lama banget selesainya, atau saat baca artikel panjang, cepat banget bosan, langsung skip dan loncat ke bagian yang dikira penting aja. Kamu lebih menikmat rebahan sambil scrolling medsos. Kalau iya, bisa jadi kamu punya gejala yang namanya Popcorn Brain.
Duh, apa lagi ini. Kemarin Brainrot sekarang Popcorn, lalu ada Gen Stroberi, Cupcake, dll.
Saya punya teman namanya bukan Prabowo bukan Gibran, bukan pula John LBF, atau Udin. Namanya saya rahasiakan aja. Jaga privasinya.
Dulu teman saya itu doyan baca buku, tapi sekarang baca artikel tiga paragraf aja udah nyerah. “Kelamaan,” katanya. Tapi kalau nonton video Tiktok, Short Yusup, atau Reels, betah bener. Begitu terus. Padahal meskipun yang dilihat konten-konten short atau instan, tapi makan waktu juga. Ia sering begadang cuma gara-gara mindless scrolling.
Mirisnya kebiasaan itu terbawa ke kehidupan sehari-hari. Pas ngobrol sama teman dia jadi gampang kehilangan fokus. Kalau topik obrolannya lama, dia keliatan nggak tertarik. Bahkan pas nonton film pun, kalau adegannya terlalu lambat, dia lebih milih buka HP dan ngecek media sosial. Ini yang bikin teman lainnya suka nyeletuk, “Bisa lo ya nonton film sambil medsosan”.
Di zaman now ternyata banyak orang ngalamin hal yang sama. Otak kita jadi kayak popcorn yang meletup-letup, selalu nyari hiburan instan. Begitu ada sesuatu yang nggak secepat atau seintens video pendek, bosan.
Istilah Popcorn Brain pertama kali muncul dalam wawancara David M. Levy dengan CNN pada tahun 2011. Levy adalah profesor di University of Washington yang fokus meneliti bagaimana teknologi digital mempengaruhi perhatian dan keseimbangan hidup kita.
Fenomena ini menggambarkan bagaimana otak kita jadi terbiasa dengan stimulus cepat dari dunia digital, seperti video pendek, media sosial, atau notifikasi yang terus-menerus muncul. Karena otak terus-menerus mencari kepuasan instan, aktivitas yang lebih lambat, seperti membaca buku, ngobrol panjang, atau bahkan sekadar duduk diam, jadi terasa membosankan. Kayaknya kalau diajak mancing ikan, gak bakal betah, deh.
Lebih lanjut Prof. Levy menjelaskan dalam catatan podcast digital mindfulness. Tap aja linknya kalau mau baca.
Salah satu bukunya Mindful Tech: How to Bring Balance to Our Digital Lives (2016). Buku ini nggak cuma membahas dampak kecanduan digital, tapi juga ngasih solusi gimana kita bisa tetap terkoneksi tanpa kehilangan fokus dan keseimbangan dalam hidup. Kalau penasaran, cek bukunya di Amazon.
Gejalanya apa aja?
Nggak jauh-jauh dengan gejala “Brainrot”. Coba cek apakah kamu ngalamin hal-hal ini:
- Sulit fokus dalam waktu lama → Baru baca buku beberapa paragraf, udah pengen buka HP.
- Mudah bosan sama aktivitas offline → Nonton film yang durasinya lebih dari dua jam terasa menyiksa.
- Ketergantungan sama media sosial → Scroll medsos jadi kebiasaan tanpa sadar. Lalu main lahap saja konten di medsos tanpa melihat di mana, kapan, dan benar atau nggak.
- Interaksi sosial terasa kurang menarik → Malas ngobrol langsung karena terasa lebih “lambat” dibanding interaksi online.
- Suka multitasking digital → Nonton YouTube sambil scroll Instagram, sambil cek WhatsApp. Gampang terdistraksi, macam popcorn yang belum kelar pecah yang satu udah pecah yang lainnya.
Bisa pulih?
Kabar baiknya, Popcorn Brain bisa dipulihkan. Tapi kayak detox gula atau nikotin, ini butuh usaha. Nggak bisa langsung sembuh dalam sehari. Nah, ini beberapa cara buat memulihkannya:
- Digital Detox
Kurangi waktu screen time, terutama yang sifatnya pasif kayak scrolling tanpa tujuan. Coba set waktu khusus buat ngecek media sosial, misalnya cuma dua kali sehari. Cara simpe ada di buklet gratisan: JEDA - Latihan Fokus dengan Bacaan Panjang
Mulai dari hal kecil, misalnya baca artikel utuh tanpa loncat-loncat. Kalau udah terbiasa, coba baca buku fisik minimal 10-15 menit sehari atau setidaknya 1 bab sehari, One Day On Chapter (ODOC). - Kurangi Multitasking Digital
Biasakan ngelakuin satu hal dalam satu waktu. Kalau nonton film, ya fokus nonton. Jangan sambil scroll HP atau wasapan. Kasihan tuh aktornya udah syuting lama, ditontonnya nggak bener-bener. - Latihan Mindfulness
Coba luangin waktu buat sekadar duduk tanpa distraksi. Bisa dengan meditasi, jalan kaki tanpa dengerin musik, atau sekadar menikmati kopi tanpa sambil baca novel atau majalah. - Batasi Notifikasi
Notifikasi bikin otak kita selalu siaga buat cari rangsangan baru. Coba matiin notifikasi yang nggak penting supaya otak bisa lebih tenang. Terutama notifikasi dari bos. #eaaa - Prioritaskan Interaksi Dunia Nyata
Ketemu temen, ngobrol langsung, atau ikutan aktivitas offline bisa bantu otak terbiasa sama ritme real life yang lebih santai. Gak papa meskipun cuma main gaple atau remi atau ludo.
Sesekali coba letakin HP, tarik napas, dan nikmatin momen tanpa distraksi. Karena nggak semua hal di dunia ini harus secepat TikTok atau sepadat Podcast Youtube. Kadang justru yang paling berharga adalah hal-hal yang butuh waktu untuk dinikmati. Jujur, deh. Kamu kangen kan ngobrol intens dan intim sama teman-teman kayak waktu sekolah?
Leave a Reply