Buku Suara dari Pinggiran karya Rizal Malik adalah memoar yang merekam perjalanan hidup seorang aktivis lingkungan yang telah berkiprah selama lebih dari empat dekade. Buku setebal 284 halaman ini menggambarkan pengalaman pribadi, refleksi mendalam, dan berbagai tantangan yang dihadapi dalam dunia aktivisme dan keadilan sosial di Indonesia. Rizal Malik tidak hanya menulis dari sudut pandang seorang praktisi, tetapi juga seorang pemikir kritis yang tak segan menyuarakan pendapatnya terhadap pemerintah, donor, teman sendiri, dan masyarakat luas.
Lembar demi lembar cerita terjalin menjadi satu tema besar: perjuangan untuk mempertahankan integritas dan keberlanjutan sebagai aktivis atau orang NGO (Enjio). Rizal berbagi pengalaman sejak keterlibatannya dalam survei mobilitas penduduk pada tahun 1979 hingga peran pentingnya sebagai CEO WWF Indonesia, terutama saat menangani kebakaran hutan besar pada 2019.
Melalui beberapa bab, Rizal menunjukkan bagaimana pengalaman menjadi pelajaran berharga, baik dalam hal mengelola organisasi maupun membangun gerakan masyarakat. Ia terkesan blak-blakan jika mengkritik. Mungkin itu hasil dari penanaman nilai dari orangtuanya yang bilang, “boleh salah tapi jangan bohong”. Sang Elang sunyi ini mengkritik pendekatan pembangunan yang sering kali mengabaikan keseimbangan ekologis dan kepentingan masyarakat adat.
Rizal Malik adalah sosok yang teguh memegang prinsip meski berada di bawah tekanan. Dalam beberapa bagian bukunya, ia mengungkapkan sikap kritisnya terhadap pemerintah dan donor.
Rizal mengkritik kebijakan lingkungan yang sering kali setengah hati dan terlalu tunduk pada kepentingan ekonomi jangka pendek. Misalnya, ia menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan, yang menurutnya lebih banyak menguntungkan korporasi besar daripada melindungi lingkungan dan masyarakat.Rizal juga tidak segan mengingatkan bahwa bantuan internasional sering kali disertai agenda terselubung. Dalam salah satu refleksinya, ia menegaskan bahwa organisasi lokal harus memiliki keberanian untuk menolak bantuan jika syaratnya bertentangan dengan nilai-nilai konservasi dan kemandirian. “Donor bukanlah tuan, mereka mitra. Jika mereka ingin kita berkompromi dengan prinsip, kita harus berani berkata tidak,” tulisnya.
Rizal juga tidak segan mengingatkan bahwa bantuan internasional sering kali disertai agenda terselubung. Dalam salah satu refleksinya, ia menegaskan bahwa organisasi lokal harus memiliki keberanian untuk menolak bantuan jika syaratnya bertentangan dengan nilai-nilai konservasi dan kemandirian. “Donor bukanlah tuan, mereka mitra. Jika mereka ingin kita berkompromi dengan prinsip, kita harus berani berkata tidak,” pesannya.
Penuturan Rizal Malik soal hubungan antara Ornop (Organisasi Non Pemerintah) yang sempat populer disebut LSM, NGO, hingga CSO, dengan pemerintah, donor, dan sesama Enjio sangat menarik untuk dijadikan bekal bagi anak-anak muda yang kini jadi aktivis. Kesan Enjio menghadapi hegemoni kekuasaan, mantan aktivis yang masuk ke sistem, hingga menjadi “calo” donor adalah sejarah aktivisme yang perlu kita renungkan agar kita bisa menentukan seperti apa kita maupun Enjio kita bergerak.
Gaya penulisan Rizal Malik sangat bercerita, dengan analisis tajam, membuat setiap bab terasa hidup dan relevan. Rizal bercerita apa adanya untuk menggambarkan dinamika lapangan, seperti interaksinya dengan masyarakat adat di Papua atau diskusinya dengan para pemangku kepentingan internasional.
Bahasanya sederhana, lugas, dan gampang dicerna. Buku ini berhasil menjadi jembatan antara refleksi individu dan pelajaran kolektif bagi anak Enjio.
“Krisis lingkungan adalah cermin dari krisis moral kita sebagai manusia. Jika kita tidak belajar untuk hidup selaras dengan alam, maka kita akan terus mengulang pola perusakan yang sama.”
Pernyataan ini muncul dalam refleksinya tentang kebakaran hutan yang terjadi berulang kali setiap tahun. Rizal menyoroti bahwa solusi bukan hanya pada kebijakan teknis, tetapi pada perubahan nilai-nilai manusia sebagai pelaku utama krisis tersebut.
“Keberhasilan gerakan konservasi bukan diukur dari jumlah laporan yang kita hasilkan, tetapi dari dampak nyata yang dirasakan oleh masyarakat dan ekosistem.” ini ia tuliskan setelah melihat bagaimana banyak organisasi terjebak pada formalitas dan laporan kepada donor, tetapi gagal menciptakan perubahan di lapangan. Baginya, aksi nyata lebih penting daripada sekadar pencitraan.
Buku Suara dari Pinggiran adalah refleksi yang kuat dan mendalam tentang perjalanan seorang aktivis NGO yang tidak hanya menghadapi tantangan eksternal, tetapi juga tantangan moral dan struktural dalam gerakan lingkungan. Rizal Malik, melalui integritas dan keberanian kritiknya, memberikan teladan bagi generasi penerus bahwa aktivisme sejati memerlukan keberanian untuk tetap berpihak pada nilai-nilai kebenaran, meskipun harus menghadapi tekanan dari pemerintah, donor, maupun masyarakat. Buku ini adalah bacaan wajib bagi siapa saja yang ingin memahami dinamika gerakan lingkungan dan belajar dari salah satu tokohnya yang paling berpengaruh.
Mengenal Rizal Malik Melalui buku ini mengingatkanku pada pertanyaan teman setelah membaca Bukuku berjudul “Fucktivist“, apakah di Indonesia ada aktivis yang dari dulu hingga kini tetap memiliki integritas yang kuat dan tak bergeming menghadapi tantangan dan bujukan kekuasaan? Saat itu kujawab, ada. Buku Suara dari Pinggiran terbitan YOI ini, mengungkap sosok tersebut secara apa adanya.
Leave a Reply