Prabowo-Gibran: Combo Nepotisme?

Hari ini 20 Oktober 2024 Prabowo-Gibran dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Prabowo08 jadi Presiden ke-8. Bisa jadi ini angka bagus buat yang doyan masang togel.

Sebagai rakyat jelantah, saya berada dalam dua arus perspektif, dari kalangan yang pro Pragib dan juga yang kontra. Masing-masing memiliki kekuatan data dan informasi. Sebagai warga negara yang tak terikat dengan dua kutub yang bertentangan tersebut, saya tentu punya pandangan sendiri namun jujurly, tentu ada pengaruh juga dari berbagai perseliweran informasi kedua sikap politik tersebut.

Yang saya rasakan, perkembangan kesadaran politik rakyat kita menjadi lebih baik. Rakyat tak lagi takut menyampaikan pendapatnya, baik pro maupun kontra terhadap pemerintah. Ini iklim politik yang baik ketimbang zaman dulu, di mana kita takut banget menyinggung kebijakan pemerintah. Nah, kini kita punya pemerintahan baru di era Prabowo-Gibran yang bakalan terus memancing perdebatan, khususnya di media sosial, baik dari pengkritik maupun pendukungnya. Termasuk dari haters dan buzzer.

Kita tak bisa menafikan hubungan Prabowo dengan keluarga Cendana, selain keluarganya sendiri yang makin bertaji sebagai kekuatan ekonomi politik terkini. Begitupun dengan Gibran. Yang ini tentu tak bisa dilepaskan dari mainan politik Jokowi, satu atau dua tahun ke belakang dalam konteks Pemilu 2024.

Prabowo. Dulu dia menantu kesayangan Soeharto. Meskipun sudah cerai, tapi koneksi politiknya masih sekuat ikatan emak-emak arisan. Karir militernya meroket pas Orde Baru, secepat harga BBM naik di era reformasi. Yang bikin makin gokil, banyak pendukung maupun yang pernah mengkritisinya, kini sama-sama kangen sama Soe-Hero eh Soeharto.

Bicara soal KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), kita nggak bisa lepas dari bayang-bayang Soeharto. Anak Genzi mesti tau, Soeharto yang dulu mertua Prabowo, sekarang mau diangkat jadi pahlawan. Iya, pahlawan. Bukan pahlawan kesiangan ya, tapi beneran pahlawan nasional. Padahal kasus-kasus yang membuatnya dilengserkan oleh para pendekar reformasi, gak kelar-kelar sampai beliau mati. Ini tuh kayak temanmu bikin kekacauan di sekolah, tapi malah dapet penghargaan murid teladan. Keselek gak sih?

Nah, sekarang Gibran. Anak Jokowi yang tiba-tiba bertransformasi jadi wapres. Dia bisa lolos cari cawapres karena kebetulan banget MK (Mahkamah Konstitusi) tiba-tiba ngubah aturan usia minimal cawapres. Kebetulan? Iya, sumpah, ini kebetulan banget. Kebetulan yang kebangetan.

Sekarang kita melamun dulu. Prabowo membawa warisan politik era Soeharto, sedangkan Gibran membawa restu politik Jokowi. Ini tuh kayak merger dua perusahaan gede. Perusahaan tua yang berlevel heritage dengan perusahaan baru yang kekinian. Double Combo! Prabowo punya network dari jaman baheula, Gibran punya akses fresh from the oven. Kayak main game fighting, tapi cheat-nya dinyalain semua. God mode: On!

Yang bikin orang makin garuk-garuk kepala, Soeharto berkuasa 32 tahun, Jokowi 10 tahun. Sekarang penerus mereka gabung. Masuk gak sih kalo kita sebut Kombo Nepotisme?

Nepotisme seharusnya udah nggak zaman. Kayak celana cutbray atau rambut spike. Eh, malah jadi tren di 2024. Ini tuh kayak fashion 90-an yang balik ngetren, tapi yang balik malah sistem politiknya. Jadinya, banyak yang menganggap ini cuma kelanjutan dari dua era kepemimpinan sebelumnya. Public opinion-nya? “Ah shit, here we go again.”

Jadi, kenapa disebut kombo nepotisme? Karena ini bukan cuma nepotisme biasa, tapi nepotisme 2.0, upgrade-an dari dua era. Meskipun dalam literatur politik, nepotisme itu memang bukan istilah resmi kayak “demokrasi” atau “oligarki”. Tapi, nepotisme itu sering banget jadi salah satu bentuk korupsi politik. Ini tuh kayak virus yang nempel di badan para politikus, susah hilangnya!

Belajar dari yang sudah-sudah, biasanya nepotisme bikin kondisi di negara kita kayak begini:

  • Patronase Politik: Melestarikan sistem “om-tante” dalam politik. Lu dapat jabatan karena dekat sama yang berkuasa.
  • Klientelisme: Nah, ini lebih ke sistem “gue bantu lu, lu bantu gue”. Kayak lu dukung capres, cawapres, caleg, cabup, cagub, catut, dsb. Saat menang, lu bakal kebagian jabatan di kabinet, lembaga negara, komisaris BUMN, dan proyek-proyek yang bikin lu makin tajir.
  • Dinasti Politik: Ini yang makin ngetren nih. Keluarga yang terus-terusan berkuasa. Kayak kerajaan, tapi pake baju demokrasi. Praktik ini sebenarnya sudah lama terjadi dari zaman dahulu kala, dan terus lestari dalam kekuasaan politik di daerah-daerah di Indonesia. Nggak cuma di keluarga Jokowi aja.

Nepotisme bisa bikin kita hidup di negara yang mottonya “Dari keluarga, oleh keluarga, untuk keluarga”. Ini yang namanya democrazy.

Tapi, bro. Saya nulis ini bukan berarti haters ya. Mohon para buzzer rada pintar menilai perspektif saya. Saya juga nggak menuding Prabowo-Gibran nggak bakal bisa memimpin dengan baik. Saya sih mencoba waras aja, selain mengkritisi tapi juga ya, let see aja. Siapa tau mereka bisa bikin Indonesia jadi lebih baik. Minimal buat keluarga elit politik yang nggak pernah benar-benar merasakan hidup susah seperti rakyatnya. Bisa membuat pejabat-pejabat dan sirkelnya terus bicara tentang kemacetan tapi ke mana-mana dibantu patwal. Makin memudahkan sirkel elit politik mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan menancapkan proyek-proyek keluarga di berbagai pelosok Indonesia dan mempekerjakan rakyat setempat sebagai kulinya. 😛

Jadi begitulah politik di Indonesia. Kadang bikin kita ketawa, kadang bikin pengen nangis, tapi lebih sering bikin pengen teriak, “Awokwokwok!” sih. Yang penting, kita sebagai rakyat tetap kritis dan nggak gampang dibodohin. Kalau nggak, kita cuma kayak penonton di sinetron politik yang judulnya “Keluarga dan Kekuasaan: Season Combo Nepotisme“. Dan ingat, kalau nanti kebijakan mereka bikin kamu nangis, itu bukan cuma salah mereka tapi juga salah DPR: Dosa Parpol Rakus. 😀

Jadi, apa dong yang bisa kita harapkan dari combo Prabowo-Gibran ini? Mungkin mereka bisa bikin kebijakan yang lebih fresh? Atau malah bakal jadi flashback ke era Soeharto dengan “restu” Jokowi? Who knows?

Sebagai rakyat ya harus tetap nrimo dan kritis. Ingat, demokrasi itu bukan cuma soal memilih pemimpin, tapi juga mengawasi mereka. Jadi, keep your eyes open, tapi jangan sampe melotot terus ya. Ntar dikira lagi latihan buat audisi film horornya Jokan. 😛

Akhir kata, (dah kayak sambutan pak RT) kita doain aja semoga pemerintahan baru ini bisa memberikan perubahan positif yang tak menipu rakyat yang telah memilihnya karena janji-janji kampanye. Ingat juga, doa doang nggak cukup. Kita juga harus ikut berperan. Jangan cuma bisa komen di medsos, tapi pas ada kesempatan buat bikin perubahan, malah sibuk scrolling TikTok.

Setidaknya, kita fokus aja ngerjain apa yang jadi kerjaan kita dalam membantu berbagai kebutuhan rakyat Indonesia. Masih banyak kok ruang-ruang mengabdi buat rakyat yang bisa lo lakukan dengan inovasi yang lo rencanakan.

O iya, jangan lupa juga, masih banyak kaos-kaos keren di s.id/bymoment yang sering saya pakai ke mana-mana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *