Sejak mengenalnya pada Agustus 2016, kuperhatikan komunitas INGAGE medan tak kenal jenuh mengajak orang muda menjadi perawat toleransi. INGAGE (Interfaith New Generation Initiative and Engagement) di Medan sering bikin kegiatan kumpul-kumpul lintas iman, mengajak berbincang orang muda, merasakan langsung betapa nyamannya hidup dalam damai, dan yang paling penting adalah membuktikan bahwa orang yang berbeda agama dan iman tak seburuk anggapan keliru selama ini.
INGAGE adalah sebuah inisiatif yang dimulai oleh teman-teman dari ICRS Yogyakarta. Mereka menyelenggarakan kegiatan selama 7 hari di 3 kota, yaitu Medan, Manado, dan Ambon. Inisiatif ini memikatku yang sempat enggan berkegiatan lintas iman karena biasanya hanya rajin bikin seminar dan diskusi saja, tanpa aksi langsung ke masyarakat. Sejak awal aku melihat INGAGE berbeda dan aku pun terserap dalam arusnya.
Usai kegiatan 7 hari bersama INGAGE dan masyarakat lintas iman medan pada Agustus 2016, aku kembali menyambangi mereka pada Oktober 2016 di sela kegiatan lain, di kota yang indomie gorengnya paling enak karena dimasak lagi. Sebagaimana inisiatif pada umumnya, kukira semangat INGAGE akan berakhir di ujung tahun. Ternyata teman-teman INGAGE medan pandai merawat kebersamaan sehingga kegiatan lintas iman jalan terus. 28 April 2017 aku kembali bersama INGAGE medan dalam acara Kopi Toleransi. Sebuah konsep acara yang cukup menarik, di mana kami berbincang dan menyelaraskan sikap tentang toleransi sambil ngopi. Selain #ngopikere di Gunung Kelir, inilah acara ngopi dengan peserta terbanyak yang pernah kuikuti.
INGAGE Medan belum juga mati api. Di bulan Ramadhan ini pun mereka ngumpulin sekitar 70 orang muda berbeda agama dan iman, menemani teman-teman Muslim berbuka puasa bersama sambil nonton film #lenteramaya dan diskusi soal hoax dan menjaga kerukunan masyarakat lintas iman di Medan. Acara digelar di Catholic Center, dengan suguhan takjil dan makan besar yang nikmat.
Ada temanku di kota lain menyapa, “gue liat di IG, lu buka puasa di Catholic Center. Lu gak salah? Emang di Medan gak ada Masjid?”
Kujelaskan padanya, salahkah jika teman-teman penganut agama/iman selain Islam menyediakan tempat dan makanan untuk berbuka puasa bagi Muslim? Salahkah jika semua penganut agama dan keimanan duduk bersama, saling mengerti, menghargai, menghormati, dan menyelaraskan kedamaian yang dirindukan? Ini bukan soal masjid atau gereja, ini soal orang muda yang saling respect terhadap perdamaian dan ingin merawat terus kebersamaan itu. Menjadi tak penting di mana kongkow itu dilakukan, mau di masjid, gereja, trotoar, pos ronda, warung kopi, dan di manapun.
Mungkin begitulah memang, tantangan yang lazim terjadi jika kita berkegiatan lintas iman. Kita akan menghadapi teman yang kecintaan terhadap agamanya begitu kuat sehingga merasa hanya pantas berkumpul dengan kelompoknya saja. Menganggap orang sepertiku ini liberal dan gak jelas aqidahnya. Aku tak pernah menimpali anggapan rendah mereka dengan sikap yang sama. Paling banter, aku cuma bergumam, rupanya masih ada yang tak suka dengan visi rahmatan lil alamin, kasih sayang dalam semesta.
Boleh jadi keimananku tak sebaik mereka yang tak suka dengan kegiatan lintas iman. Mungkin yang seperti itu belum pernah mengalami hidup di satu kampung yang heterogen dan berbaur.
Teringat cerita temanku, keturunan Tionghoa dan beragama Kristen. Ia merindukan masa kecilnya di sebuah kampung di Jembatan Lima. Terutama saat jelang lebaran, ia bersama teman-temannya yang muslim, bergembira bangunin sahur, menabuh bedug di Mushalla, dan membagi-bagikan takjilan buatan mamanya ke tetangganya yang berpuasa. Saat lebaran pun begitu ia rindukan, bisa makan ketupat bareng teman sebayanya. Begitupun saat natal dan Imlek, tetangga sekampung, saling menghormati hari raya tetangganya. Ia amat merindukannya hari ini, ketika kenyataan seperti itu tak lagi bisa ia rasakan, ketika semua orang makin merasa lebih baik agamanya dan yang lain kafir dan tak pantas diperlakukan setara.
Aku berharap Medan dengan ingagenya tak kehabisan kesabaran dalam merawat akar toleransi dan akar budaya demi perdamaian yang selalu dibenci dan dipadamkan oleh orang-orang yang mendapatkan keuntungan dari perselisihan dan konflik SARA.
Yang kayak gitu, masih ada di negeri kita. Kuatkanlah kolaborasi kita!
Leave a Reply