Aku ada di sebuah kampung yang salah satu tokoh masyarakatnya senang berburu harimau. Ugaarsade nama tokohnya. Setiap ia berjalan di kampung ini, semua orang menundukkan kepala.
Ke mana-mana Ugaarsade didampingi seorang lelaki yang juga kekar namun dengan pandangan yg menunduk tanda menghormati tuannya. Satu lagi pendamping Ugaarsade, seorang anak kecil, lelaki. Baru kutahu dari seorang warga kalau ia adalah anak sang pemburu harimau. Anak itu selalu terlihat murung dan tak pernah terlihat berbicara. Komunikasinya hanya melalui isyarat mata dan gestur tubuhnya.
Aku pernah bertanya kepada seorang warga yang di rumahnya aku menginap. “Kenapa anak itu selalu murung?” Yang kutanya terlihat enggan menjawab. Ia hanya menempelkan jari telunjuk ke tengah bibirnya. Oke, berarti aku tak boleh mempertanyakan soal itu.
Pada suatu malam Ugaarsade memasuki gerbang kampung. Ia meneriakkan sesuatu yang tak kumengerti. di belakang motor gerobaknya tergolek seekor macan bersimbah darah. Kedua lelaki itu tertawa sedangkan sang anak tetap terlihat murung.
Tokoh lain di kampung ini adalah Culimada. Seorang tokoh spiritual. Ia sering memimpin ritual. Pengikutnya banyak sekali. Sekiraku hampir semua warga kampung ini. Seorang warga tempatku menginap pun pengagum dan pengikut Culimada.
Umur manusia tak bisa diterka. Culimada yang bijaksana dan dicintai, wafat. Warga kampung berduka. Mereka tiada henti berdoa sepanjang hari hingga hari di mana seluruh warga mengiringi pemakamannya.
Di depan liang lahat, kejadian mengejutkan terjadi.
Jenazah Culimada bergerak lalu berdiri dengan kafan menutupi sebagian tubuhnya. Wajahnya berubah. Ia berteriak, belum mati. Beberapa pengikut memeluk dan menciumi tubuhnya. Termasuk warga tempatku menginap di rumahnya. Beberapa lainnya lari tunggang-langgang.
Jenazah Culimada berteriak meminta uang kematian yang dikumpulkan warga. “Mana uangnya!” Lalu ia melangkah ke rumah tempatku menginap. Di rumah itulah warga menaruh uang ke dalam tempayan. Jenazah Culimada mengambil semua uang yang dikumpulkan di tempayan, lalu masuk ke rumahnya yang megah.
Seorang warga pecintanya, tempatku menginap di rumahnya, terbelalak. Ia terkesima melihat perubahan sikap sang panutan yang sebelumnya bertuturkata lembut, berubah jadi kasar. Wajahnya yang selalu tersenyum berubah jadi murka.
“Apakah sebenarnya, itu sifat asli yang selama ini ditutupi popularitasnya?” Tanyanya padaku.
“Aku orang baru di sini. Aku tak bisa menyimpulkan apa yang belum lama kuketahui.” jawabku.
Sejak saat itu Culimada tak pernah lagi muncul. Warga kampung kehilangan tokoh spiritual yang mereka hormati yang kini bersembunyi di rumah megah yang selalu terkunci.
Di hari lain suasana begitu mencekam. Seekor harimau yang amat besar masuk ke kampung ini. Semua orang sembunyi. Semua takut dimangsa. Aku pun ketakutan saat harimau itu mendobrak rumah tempatku menginap.
Aku terpojok. Harimau itu mengaum. Matanya hampir menempel ke mataku. Aku pasrah namun ia tak memangsaku. Ia hanya menatap. Entah bagaimana caranya kumengerti, dari matanya aku seperti memahami kedatangannya untuk memburu sang pemburu.
Di depan rumah tempatku menginap terdengar suara motor bergerobak melaju. Sang pemburu bersama pengikutnya dan anak lelakinya yang selalu murung, meninggalkan kampung. saat ia baru sampai di gerbang kampung, harimau di depanku berlari mengejarnya.
Entah seperti apa persisnya, tak berapa lama sang anak lelaki berlari ke arah kami. Ia teriak berkali-kali, ayahnya dimakan harimau, pamannya dicabik-cabik harimau. Kedua orang yang selalu bersamanya dimangsa harimau besar yang sama sekali tidak menyentuhnya meskipun berada bersama ayah dan pamannya.
Anak kecil itu menerobos kerumunan lalu memeluk seorang perempuan yang duduk pada potongan kayu, di depan rumahnya. Kakinya cuma satu. Anak itu tenang dalam pelukan perempuan tua itu. Sang ibu.
Warga tempatku menginap berbisik, “Kaki ibunya putus dicabik harimau saat masih mengandung anaknya. Sudah lama sekali.”
Inilah kampung entah di mana. Entah kenapa aku berada di sini. Entah kenapa aku bermimpi seperti ini.
Leave a Reply