Pejabat Kok Miskin? Gak Bener, lu!

Pejabat Ditjen Pajak yang terungkap kekayaannya lantaran kelakuan anaknya kini sedang diperiksa KPK. Hartanya bejibun, mulai dari yang kelihatan secara fisik maupun yang tak kelihatan, semacam simpanan dan proyek. Netizen +62 yang memiliki kemampuan di atas agen rahasia, membongkar aset Rafael Alun Trisambodo dan keluarganya. Hasilnya, lebih mencengangkan ketimbang temuan KPK.

Gaya hidup mewah seolah menjadi lazim di kalangan pejabat. Dari yang awalnya biasa saja, saat jadi pejabat maka kehidupannya pun berubah. Seolah naik kasta, naik kelas. Hartanya kian bertambah, investasinya melimpah, dan proyek-proyeknya makin merambah. Saking lazimnya, sampai-sampai apabila ada pejabat yang kelihatan hidup sederhana, sebagaimana rakyat jelata, maka netizen dan media pun tercengang. Kok ada pejabat yang sederhana, gak suka pamer, gak suka memanfaatkan jabatan untuk mendapatkan berbagai kemudahan akses di negeri yang disetir sama politikus ini.

Pada periode pertama pemerintahan Jokowi (bersama Jusuf Kalla), rata-rata pejabatnya menunjukkan kesederhanaan. Ada yang naik KRL, nggak mau mobil dinas yang mewah, minta dijemput pakai Xenia, jalan kaki ke pasar, naik ojek, tidak mau dikawal oleh motor pengawal yang sering teriak-teriak tetat-tetot, dan segala macam kesederhanaan. Salah satu menteri yang beberapakali jalan bareng denganku pun begitu. Sejak sebelum jadi menteri dia memang santai dan biasa aja gitu. Jabatan menteri di kabinet kerja tak membuatnya berubah tingkah.

Sikap sederhana tersebut memang ditanamkan oleh Jokowi saat baru pertamakali jadi presiden. Saat masih belum kena berbagai jebakan betmen yang dipasang sirkelnya sendiri. Kebijakan melarang Kementerian dan Lembaga meeting di hotel pun viral. Makanan ala kampung macam singkong dan ubi pun jadi kebiasaan. Jadi kesederhanaan itu pernah terjadi di zaman Jokowi masih jadi presiden yang lugu. Hanya saat itu.

Pada periode kedua, yaitu saat Kabinet Kerja berubah menjadi Kabinet Indonesia Maju, perlahan tapi pasti segala kesederhanaan gaya hidup pejabat pemerintahan pun luntur. Setelah dinego sama para pebisnis hotel dan pariwisata, akhirnya Pemerintahan Jokowi mencabut kebijakan melarang meeting di hotel. Orang-orang Kementerian dan Lembaga kembali tersenyum. Menteri-menteri yang sederhana tak lagi terlihat baik di jalanan maupun di jagad media sosial. Kesederhanaan sirna. Kemewahan kembali menjadi interface para pejabat pemerintah dan negara.

Kenapa semudah itu gaya hidup mewah kembali normal? Ya, karena cukuplah tersiksa memaksakan diri hidup sederhana satu periode. Cuma orang-orang yang memang dari sananya bersahaja yang sanggup. Kebanyakan sih, mati gaya. Hipokrit dong? Ya, begitulah kenyataannya hingga akhirnya kita lihat sendiri seperti yang terjadi sekarang. Banyak pejabat maupun keluarganya sepal-sepil kemewahan di media sosial. Bukan cuma itu, kalangan borjuis nusantara pun kembali menunjukkan arogansinya. Mereka bisa bayar apapun yang mereka suka, mereka mau, mereka atur, atau mereka kalahkan demi kekuasaan dan bisnisnya. Berbagai drama polisi belum lama ini menunjukkan hal tersebut. Belum lagi drama-drama kalangan borjuis lainnya.

Tidak bolehkah pejabat hidup kaya raya, serba mewah, dan diprioritaskan untuk segala urusan? Boleh. Sistem dan budaya politik yang ada di +62 memungkinkan begitu, namun bukan berarti tidak ada sama sekali pejabat-pejabat yang memang memiliki integritas dan budi pekerti mulia. Pejabat yang seperti ini langka tapi ada. Mereka mau tetap hidup apa adanya, tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kemewahan diri dan keluarganya.

Mungkin kamu pernah dengar Kapolri Hoegeng Iman Santosa. Ia juga pernah jadi menteri di tahun 1965. Dia menolak mobil dinas yang saat zamannya terbilang mewah. Dia lebih suka pakai mobil jeep wilisnya. Alasannya sederhana, “Saya gak punya garasi buat mobil baru.” Saat ini, kita lihat sendiri, berapa banyak mobil di garasi para pejabat? Berapa yang dipakai, berapa yang dikoleksi?

Ada juga Menteri Penerangan yang juga jadi Perdana Menteri, Mohammad Natsir. Bukan cuma menolak hadiah mobil mewah, ia pun gak gablek duit untuk beli rumah. Jadi menteri bertahun-tahun tapi numpang di paviliun sahabatnya, Prawoto Mangkusaswito, di kampung Bali, Tanah Abang. Ketika pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, Nasir menumpang di paviliun milik keluarga Agus Salim. Netizen menguak sendiri berapa aset properti pejabat yang sekarang lagi ramai dibully? Rumah di mana-mana, vila di mana-mana, hotel banyak, dan entah apa lagi.

Siapa lagi pejabat kita yang tak mau memanfaatkan inventaris negara buat urusan keluarganya? Kalau saya sebut Bung Hatta, tentu kamu percaya. Banyak kisah tentang kesederhanaannya. Salah satu yang kocak adalah ketika keponakannya memberi tahu kalau Mak Tuo (panggilan untuk ibunda Bung Hatta) mau bertemu dengan anaknya. Sang keponakan usul agar Bung Hatta menjemput ibunda dengan mobil dinas. Dengan begitu, ibunda akan merasa bangga punya anak yang sukses. Tapi usul sang keponakan ditolak mentah-mentah, “Nggak bisa pakai mobil dinas dong. Itu kan mobil negara, bukan mobil saya. Jadi, kita jemput pakai mobilmu aja!” Gak gokil kayak apa, seorang pejabat bisa ngomong kayak gitu?

Sekarang kita lihat sendiri mobil pejabat yang mengantarkan sanak keluarganya dengan kawalan motor dan mobil yang sirinenya sering berisik. Kita pernah dijejali dengan kasus mobil-mobil berplat RF yang arogan. Bung Hatta gak akan pernah pakai mobil dinas untuk urusan keluarganya.

Masih adakah pejabat-pejabat gila yang enggan memanfaatkan aset negara, fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan keluarganya? Entahlah saat ini. Kalau dulu mungkin masih bisa kita cari mereka yang sudah mati. Kalau sekarang, aku amat sangsi menemukan pejabat yang memiliki budi pekerti. Tapi semoga saja drama-drama kaum borjuis belakangan ini membuat Presiden kita mikir untuk bersikap tegas terhadap para pejabat yang kerap membuat kesal rakyat.


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.