Yang Anda baca kali ini di #blogMT adalah sebuah cerita berantai yang akan dilanjutkan oleh @harrismaul dan @margeraye. Kami masuk dalam grup 3 proyek penulisan cerita berantai bertitel 3 PENGUASA, yg digelar Blogor, dengan pengelolaan oleh @WKF2010. Selamat membaca.
KISAH PUN DIMULAI
Kedai Kopi Dusun Kretek tak pernah sepi dari pengunjung. Rata-rata yang singgah di kedai ini adalah para pejalan kaki maupun saudagar yang ingin berdagang ke Kota Raja.
Seorang perempuan duduk sambil menikmati kopi tubruk dan aneka penganan sederhana dan buah-buahan yang tersedia di setiap meja. Perempuan berparas cantik itu tak menyadari seorang lelaki melesat dan berdiri di belakangnya.
“Tringgg…” Sebilah pedang dicabut dari sarungnya.
Dewi Kencanawungu terkejut. Bola matanya melirik ke kiri, menjalar mengikuti arah sebilah pedang yang ditempelkan Pendekar Pedang Asmara Berujung Duka, di bawah dagunya. Melekat pada kulit lehernya. Sebuah pisang yang baru saja ia kupas kulitnya, berhenti di depan mulutnya yang masih menganga.
“Apa gerangan yang kau cari di dusun ini, pendekar perempuan?” Desak Pendekar Pedang Asmara Berujung Duka, dengan suara datar tak berteriak, tidak seperti layaknya perampok di kedai.
“Apa pula yang kamu cari di tempat ini, pendekar frustasi? Atau jangan-jangan kau membuntuti aku sejak meninggalkan mayat-mayat di Kalisari?” Sahut Dewi Kencanawungu tanpa khawatir sedikitpun meski dinginnya pedang menjalar di lehernya.
“Hm… Membuntutimu? Hanya lelaki bodoh dan penuh nafsu yang tertarik pada kecantikanmu.”
“Hahaha…. rupanya kau mengakui juga kecantikanku, kemolekan tubuhku, gemulai gerakanku. Dasar! Semua lelaki selalu menyangkal penglihatannya sendiri. tetapi tetap ingin menjamah tubuhku. Bejad!”
Pedang Asmara Berujung Duka bergerak cepat membeler kulit putih leher Dewi Kencanawungu. Tetapi gerakan Dewi Kencanawungu lebih cepat dari Pedang itu, dan mendaratkan tendangan ke wajah Pendekar Pedang Asmara Berujung Duka.
Pendekar Pedang Asmara Berujung Duka tak kalah sigap. Ia menangkis tendangan tanpa bayangan dengan sarung pedang bak perisai di tangan kirinya.
Kini kedua pendekar itu saling menatap dengan sikap waspada terhadap serangan.
Pengunjung kedai lainnya berhamburan keluar mencari selamat. Pemilik kedai mengendap-endap dari balik jendela dapurnya. Was-was memperhatikan pertentangan dua pendatang yang saling berpandang-marah.
“Kenapa kau bantai para pemuda di Dusun Kalisari? Bukankah mereka penduduk biasa yang tak seujung-kuku pun bisa dibandingkan dengan olah kanuraganmu?” Telusur Pendekar Pedang Asmara Berujung Duka.
“hahaha… para pemuda itu harus diberi pelajaran tentang bagaimana bersikap terhadap perempuan. Mereka nyinyir saat aku melintasinya. Tak bisa menjaga kata, tak kuasa menahan pandangan.”
“Haruskah mereka kau bunuh?”
“Kamu tak mengerti bagaimana rasanya sebagai perempuan yang dilecehkan. Wajar bila tak pernah satu pun perempuan yang mau kamu kencani. Dasar lelaki berhati batu!”
“Jaga sikapmu! Aku tak memburumu. Aku memang berjalan di belakangmu. Bahkan kau tak lebih menarik dibandingkan pemandangan di Kalisari. Andai aku membuntutimu, pasti pembantaianmu di sana akan kugagalkan. Aku baru mengetahui beberapa saat setelah kau melesat meninggalkan mayat.”
“Kalau kau tak membuntutiku, kenapa kau sapa aku dengan pedangmu?”
Pendekar Pedang Asmara Berujung Duka tersentak dengan pernyataan Dewi Kencanawungu. Ia menyarungkan pedangnya lalu duduk tanpa isyarat menyerang ataupun bertahan.
“Kenapa tak jadi menghunuskan pedangmu?”
“Itulah kesalahanku karena terbakar amarah. Dan aku pun harus memperbaiki sikap. Maafkan aku, Pendekar.” Pendekar Pedang Asmara Berujung Duka menundukkan kepala.
“Trik apa lagi yang kau pakai untuk mengelabuiku?”
“Duhai pendekar manis. Jika kebaikan sikapku pun kau curigai, lelaki seperti apa yang bisa kau percaya di jagad ini?”
“Aku belum pernah bertemu dengan lelaki yang benar-benar memandang dan menjaga kehormatanku. Semua lelaki yang kutemui berpura-pura baik lalu menjebakku dalam kubangan nafsunya. Apakah kau tidak seperti itu?”
“Apakah kau melihat aku seperti itu? Duduklah!” Pendekar Pedang Asmara Berujung Duka menjentikkan jarinya kepada pemilik kedai. Isyarat lazim untuk memesan minuman.
Dewi Kencanawungu masih berdiri di depan Pendekar Pedang Asmara Berujung Duka. Ia masih menaruh curiga. Alis matanya belum kembali ke posisi normal. Namun tatapan matanya perlahan menyurut dari kemarahan.
“Kenalkan, aku….”
“Pendekar Pedang Asmara Berujung Duka. Aku sudah lama mengenalimu.” Papas Dewi Kencanawungu.
“Itu hanya julukan para pendekar dunia hitam yang memusuhiku. Aku sendiri tak pernah menyandingkan julukan itu dalam namaku.”
“Siapa pun namamu sebenarnya, jagad persilatan sudah terlanjur mengenalimu dengan sebutan itu. Bagiku tak masalah, walau sebenarnya nama itu agak… ah sudahlah…” Dewi Kencanawungu seraya duduk di depan Pendekar Pedang Asmara Berujung Duka. Ia menerima cangkir kopi yg dibawakan pemilik kedai dan menaruhnya di hadapan lelaki yang baru saja ia bebaskan dari kecurigaan.
“Terima kasih.”
Mereka melanjutkan perbincangan tentang dunia persilatan. Terutama tentang para pendekar dunia hitam yang telah memengaruhi para pejabat di Kota Raja. Sebuah ancaman sepertinya mengancam Maharaja Cemanibuwana.
“Jadi kita satu tujuan. Bagaimana jika kita bersama menemui Pendekar Macan Tidur di Kota Raja?” Ajak Dewi Kencanawungu
****
Bagaimana kisah selanjutnya? Siapakah Pendekar Macan Tidur? Apa yang akan terjadi di Kota Raja? Baca kelanjutan cerita ini di blog @harrismaul. Ialah pendekar yang bertanggungjawab melanjutkan kisah ini.
Leave a Reply