Dalam perjalanan politiknya sepertinya PKS kena dikerjain. Sudah lepas kursi cawapres yang diharapkan, kursi cawagub DKI pun digantung DPRD hingga rapat paripurna yang tak tahu kapan mau digelar padahal dua calon yang diajukan kelar diperiksa dan layak jadi.
Melihat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sejak awal berdiri (masih bernama PK), seperti melihat anak yang diperlakukan beda dalam pergaulan. Dijadikan teman jika terlihat punya mainan dan bisa dipinjamkan, ditinggalkan kalau dianggap tak menguntungkan. Anak ini terlalu gampang dikerjain sama teman-temannya, jika butuh ditemani jika tak butuh dan cenderung bakal menang, ya dimusuhi barengan.
Sepertinya begitulah nasib partai dakwah ini. Kerap dicurigai punya agenda tersembunyi bahkan oleh teman koalisinya sendiri.
“Kita tahu itu dan PKS terus mencermati,”
~ Wakil Sekjen PKS, Mahfudz Siddiq
Belum lagi persoalan di tubuh partai itu sendiri. Jika ada kadernya ataupun calegnya melakukan kekhilafan, kerap jadi bulan-bulanan publik, terutama netizen. Dulu, waktu ada anggota dewan dari partainya kelihatan buka tontonan p*rn*, rame dirisak netizen. Begitupun kasus mainan sapi. Apalagi sekarang, orang-orang sedang ramai menyinggung caleg dari PKS yang diduga mencabuli anak kandungnya sendiri sejak usia 3 hingga 17 tahun. Sebuah bahan pelintiran kebencian yang renyah. Dan persoalannya, berbagai kabar buruk itu tak bisa dihapus dalam kenangan masa.
Bisa saja pengurus partai berkelit, yang salah oknumnya, bukan partainya. Apalagi caleg itu bukan kader partai, cuma dicalegkan karena figur ketokohan. Apapun kilahnya, tetap nggak enak posisinya. Pengurus partai bisa saja bilang, jangan salahkan partainya tetapi pandangan publik tetap tak bisa dibelah antara oknum dan partai. Jika ada anggota partai lain, sebut misalnya PDIP dan Gerindra yang ketahuan korupsi, publik tak akan melihat pribadinya saja, tetap sebaran kabarnya adalah orang PDIP, orang Gerindra itu ternyata koruptor. Jadi ketika ada orang dari partai terjerat masalah, tak perlu memaksakan diri meminta agar publik jangan salahkan partai. Apalagi jika kita tahu ada semacam pembinaan akhlak dan politik dari partai terhadap anggota, kader, dan simpatisannya. Tak semudah itu, Ferguso!
Kenapa PKS bisa menerima caleg, cawapres, dan capres dari non kader? Itulah kemestian dari kalkulasi dan transaksi politik. Dalam soal pencalegan, tentu tak mudah bagi kader untuk maju mencalonkan diri. Ongkos politik mahal, bro. Jadi hanya kader yang tajir, banyak dapat sokongan ikhwah, dan berani –nekad cari modal awal– saja yang bisa nyalon. Kalau tak ada calon dari kader? Cari tokoh di luar partai yang dianggap masih bisa diajak untuk berpolitik sesuai dengan haluan politik PKS atau masih bisa dibina agar bisa menyesuaikan diri dengan akhlak politik PKS. Bilamana tokoh non-kader itu ternyata melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan norma-norma kepekaesan, ya tinggal dijauhi. Kenapa begitu? Ya, nama baik partai adalah prioritas.
Kenapa aku seolah nyinyirin PKS? Sering banget aku mengkritik teman-teman PKS di blog maupun media sosial. Bagi mereka yang mengenalku sejak sebelum PK didirikan, mungkin tahu kenapa aku sejak dulu sampai kini tetap memerhatikan PKS. Kritikan langsung yang kusampaikan kepada teman-teman, saudara-saudaraku, dan keluargaku yang ada di partai itupun juga kulontarkan dalam obrolan biasa, santai. Mereka tak menganggapku nyinyir, apalagi dianggap sebagai pembenci PKS. Sebab mereka tahu, sejak awal aku memilih tak mau berkiprah di partai (apapun) dan mereka menyatakan terbuka untuk aku kritik jika sewaktu-waktu langkah mereka kuanggap keliru. Jadi konteksnya tetap saling mengingatkan, bukan dalam posisi suka nggak suka apalagi benci atau cinta. Lagi pula aku bukan orang mudah jatuh cinta, apalagi benci. #eaaa
Lalu bagaimana baiknya buat PKS? Sudah terlanjur, ya susah. Resiko nyebur ke politik ya harus siap mengarungi lautan politik dengan segala asin, pahit, dan sampah-sampah plastik yang sulit dimusnahkan. Minimal cobalah belajar dari berbagai kekeliruan mengambil keputusan dalam kompromi politik. Kurangi saja segala kompromi yang ujung-ujungnya tak menguntungkan partai.
Misalnya dalam usungan Anies-Sandi, apa keuntungan buat PKS yang banyak memobilisasi kader dan simpatisannya? Begitupun dalam kompromi ijtima’ ulama 212 untuk pilpres 2019, untungnya apa? Incaran kursi Cawapres jelas gagal. Terhadap figur Prabowo sendiri, yakin semua kader dan ummat menerima dengan lega hati?
“Tunggu, perjuangan belum selesai, kita lihat sampai pemilu ini selesai, dek!”
Mau nunggu apa, mas? Kalkulasi politiknya bagaimana? Andai Prabowo-Sandi menang, yakin PKS punya posisi kuat dalam tawar-menawar porsi pemerintahan? Dalam melobi cawapres saja gagal, pun dalam menuntut janji cagub, malah digantung entah sampai kapan. Jadi menurut saya pilihan kongkalikong politik kalian ini sudah keliru sejak awal, terbaca bandar! Taktik kalian juga salah perhitungan. Ya akhirnya tinggal terima resikonya nanti, kalah jadi abu, menang jadi arang.
#Update: Hanya mendapatkan 17 suara dengan anggota fraksi yang hanya 16 dari 106 orang, PKS pun kalah telak dalam perebutan kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Gerindra membuktikan ketidakrelaannya memenuhi janji politik terhadap partai dakwah itu.
Leave a Reply