Pertemanan bisa jadi bermula dari kepentingan. Ini quote-nya mas Totok Gunung Kelir. Juragan kambing di Kaligesing, Purworejo, yang sekarang lagi mabuk kopi. Pernyataannya itu melintas di kepalaku saat menonton film Papillon versi Michael Noer (Rilis Juni 2018).
Charlie Hunnam sebagai Papillon saat merencanakan kabur dari Devils Island
Tanpa tujuan yang menguntungkan dirinya sebagai penghuni penjara Guyana, koloni Perancis. –Sebuah pulau penjara yang termasuk penjara tersangar di dunia–, Henri “Papillon” Charriere tak akan mau berteman dengan sosok kecil, kurus, bahkan diduga gak akan kuat seminggu hidup di Guyana, Louis Dega. Begitupun dengan Dega, setelah merasa terancam oleh napi lain, ia pun menerima tawaran Papillon untuk melindungi nyawanya. Dega sadar, di pulau Penjara ini nyawa dan atau uangnya menjadi incaran. Dari kepentingan itulah pertemanan di antara keduanya terjalin, hingga tumbuh kepercayaan, setia, dan saling melindungi. Meskipun ada juga kelicikan dalam pertemanan dengan sosok lain dalam kehidupan mereka.
Film yang diperankan Charlie Hunnam (Papillon) dan Rami Malek (Louis Dega) ini menyegarkan kembali ingatanku pada film Papillon sebelumnya yang diperankan Steve McQueen (Papillon) and Dustin Hoffman (Louis Dega).
Mana dan siapa yang lebih baik antara film 1973 dan 2018 itu? Bukan itu tujuanku menuliskan kesan di blog ini. Dari film Papillon ini, McQueen masuk nominasi Golden Globe. Dustin Hoffman, siapa yang gak kenal aktor kawakan ini. Ia berhasil memerankan karakter Dega seperti imajinasi di Novelnya. Hunnam dan Rami Malek? Lu mending nonton aja. Apalagi kalo lu terkesan banget sama Rami Malek saat memerankan Freddie Mercury di Bohemian Rhapsody, hm… Di film ini Malek main lebih “gila”. Begitupun Hunnam. Ia mampu menggiring emosi kita untuk memahami seperti apa keheningan, kesendirian, kegelapan, pedih, siksaan, dan yang paling jelas adalah bagaimana tak pernah berhenti berpikir untuk kabur dari penjara.
Bagi yang sudah khatam membaca novel Papillon, kupikir perlu juga menonton film ini. “Ah, ntar jelek! Gak persis kayak di novelnya!” Begitu biasanya penggila novel mengomentari karya film. Gimana, ya. Kalo aku sih menginsyafi bahwa film memang beda dibanding novel. Kayak beda waktu lu naik sepeda sama naik motor. Sense beda, kadar keringetnya beda. Pegelnya apa lagi ;P
Terus bagaimana buat yang belum pernah baca novelnya? Kenapa gue jadi bahas ini…. Kalau mau nonton, ya nonton aja. Terutama buat yang suka film-film Avenger apalagi Drama Korea. Lu bisa perkaya imajinasi buat pergulatan hidup lu ke depan. #eaaa
Adegan yang paling kutunggu akhirnya muncul. Bagaimana Papillon dan Dega akhirnya diasingkan ke Devil Island.
“Gue lebih suka dipanggil Louis, ketimbang Dega!” Kata Louis Dega (Rami Malek).
Di Pulau Setan inilah, pulau penjara yang juga bagian dari wilayah Guyana Perancis, para napi mengakhiri hidupnya dalam keputus-asaan. Tapi tidak buat Dega.
“Louis! Panggil gue Louis!”
Ya, ternyata Louis lebih memilih menetap ketimbang ikut kabur lagi bareng Papillon. Sebuah rencana kabur kesekiankalinya setelah berkali-kali gagal dan mengantarkannya pada siksaan.
“Kenape lu gak ikut, Louis? Kita udah bikin rakit barengan. Tinggal lempar lalu kita nyusul terjun ke laut, kabur!” Ajak Papillon.
“Gak, Lon. Mending lu aja. Alesan gue bertahan di sini, seperti yang lu pernah bilang ke gue: Inilah tempat gue!” Jawab Dega.
“Louis, Te!”
Ya, pertemanan mereka berpuncak di puncak Pulau Setan. Sebuah pulau penjara yang membuat penghuninya mengakhiri hidup di sana. Devils Island, grup qosidahan Megadeth menjadikannya judul lagu dalam album Peace Sells… But Who’s Buying?
Jadi ini film beneran tentang kisah nyata Henri “Papillon” Charriere?
“Bukan. Ini bukan tentang gue, tapi tentang pergulatan hidup banyak orang.” kata Papillon saat melemparkan naskah bukunya ke penerbit.
Leave a Reply