Namanya Denilson, Bukan Messi

Cristo Rei atau Kristus Raja adalah salah satu tujuan kelayapanku selain Masjid An-Nur di Timor Leste. Patung 27 meter ini dibangun pada 1996. Lokasinya di puncak bukit Fatucama, dapat ditempuh dalam 10 menit menyusuri jalan di tepi laut Timor Leste yang indah.

Suhu kota 33°C sore itu membuat langkahku menuju Cristo Rei bertetesan peluh. Aku pun duduk di anak tangga pada setengah perjalanan hingga seorang bocah sekira berusia 7 tahun kulihat begitu gembira menapaki anak tangga. Tapak mungil tanpa alas kaki tiba di depanku yang sedang menarik dan menghembuskan napas untuk mengembalikan tenaga.

“Mesi! Hebat sekali kamu. Yuklah, aku menyusulmu!” Aku pun berdiri untuk menyusul Mesi yang menoleh tertawa dari anak tangga di atas kepalaku.

“Namanya Denilson, bukan Mesi.” Sapa perempuan yang berjalan di belakangku. Sesekali ia mengingatkan anak kecil itu agar hati-hati jangan sampai jatuh.

“Oh, maaf bu. Saya spontan memanggilnya Mesi karena tulisan di kaos bola yang ia pakai.” Jawabku. Sementara Mesi eh Denilson tersenyum menunggu Mamanya. Kuusap-usap kepalanya saat melewatinya.

Setelah berbincang dengan ibunya Denilson, aku kembali melanjutkan perjalanan menaiki tangga. anak tangga yang terbuat dari beton terasa hangat di telapak kaki, menyerap panas matahari sore yang masih menyengat. Setiap langkah terasa semakin berat, namun semangat untuk mencapai puncak mendorongku terus melangkah walau terengah-engah.

Semakin tinggi aku mendaki, pemandangan di sekeliling semakin memukau. Di sebelah kiri, laut biru membentang luas, ombaknya berkilauan memantulkan cahaya matahari sore. Di sebelah kanan, bukit-bukit hijau Fatucama menjulang dengan anggun. Ada juga pemandangan nyaris tersembunyi di sebelah kanan, yaitu Pantai Dolok Uan. “Aku harus berenang di pantai itu, saat nanti turun dari Cristo Rei.” benakku.

pantai dolok uan menemani sendiriku

Setelah anak tangga yang berbelok kanan lalu terus menanjak ke kiri, jantung berdegup bukan karena kelelahan, tapi tapi karena panorama yang lebih indah dari apa yang kulihat sebelumnya. Jika tak percaya, silakan lihat foto ini:

Akhirnya, beberapa anak tangga terakhir terbentang di depan mata. Langkah demi langkah aku lalui penuh semangat. Setiap jejak membawaku lebih dekat ke tujuan, sekaligus memberikan panorama yang semakin luas dan menakjubkan dari ketinggian.

Ketika kaki melangkah di anak tangga terakhir, perasaan lega dan bangga membuncah dalam dada. Aku berhasil mencapai puncak Fatucama! Di hadapanku, patung Cristo Rei berdiri dengan megah. Lengannya yang terbentang seolah menyambut kedatangan para pendaki.

Udara di puncak terasa jauh lebih sejuk dan segar. Angin lembut membelai wajah, mengeringkan peluh yang membasahi dahi. Saya mengambil beberapa saat untuk mengatur napas dan menikmati pencapaian ini, sebelum melangkah lebih dekat ke arah patung.

Di sekitar patung, beberapa peziarah tengah berdoa dengan khusyuk. Ada yang berlutut, tapi lebih banyak yang berdiri dengan tangan terkatup. Suasana religius terasa kental, menambah tenang di tengah keindahan alam yang terbentang.

Aku melangkah ke tepi puncak, bergabung dengan Denilson yang masih asyik tertawa bersama ibunya. Dari ketinggian ini, panorama Timor Leste terhampar luas bagai lukisan yang hidup. Laut biru yang tadi hanya terlihat sebagian, kini membentang hingga ke horizon. Kota Dili terlihat kecil di kejauhan, rumah-rumah dan gedung-gedung tampak seperti mainan di antara hijaunya pepohonan.

Denilson menepuk tanganku saat aku mengajaknya tos. Anak ini sama ramahnya dengan warga Timor Leste yang kutemui sejak hari pertama mendarat di kota ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *