Minggir Lu, Miskin!

Tepat pukul tujuh pagi, Jalan Sudirman, Jakarta, dipenuhi kendaraan yang mengular. Ribuan pengendara motor dan mobil berjibaku di tengah kemacetan khas ibu kota. Di antara klakson yang bersahutan, terdengar yang maha sirine meraung-raung, “tetot, tetot, trotot!”. Polisi patroli pengawalan (patwal) memerintahkan pengendara untuk minggir, membuka jalan bagi rombongan kendaraan pejabat (baik yang uratnya kaya maupun orang kaya baru). Wajah kesal para pengemudi biasa terpaksa minggir. Mereka harus bersabar dalam antrean panjang sementara orang kaya melaju mulus tanpa hambatan. Dalam drama ini, terlihat jelas peminggiran yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga simbolik. Seakan-akan, mereka yang berada di luar lingkaran kekuasaan hanyalah rakyat jelantah. “Minggir lu, miskin!” itulah pesan yang ditangkap mereka kala mendengar “trotot-trotot”.

Namun “minggir lu miskin!” tak hanya terjadi di jalan raya. Fenomena ini terus terulang dalam berbagai aspek kehidupan rakyat kecil. Di kawasan perkotaan, penggusuran menjadi babak lain dalam cerita peminggiran. Ketika gedung pencakar langit dan kawasan elite dibangun, permukiman kumuh yang telah lama menjadi tempat tinggal masyarakat miskin dianggap “tidak layak” dan digusur dengan alasan legalitas. Kompensasi yang dijanjikan sering kali tidak setimpal, jika tidak hilang di tengah proses yang berliku. Mereka yang tergusur dipindahkan ke tempat yang jauh dari akses pekerjaan, pendidikan, dan layanan kesehatan, memaksa mereka masuk ke dalam siklus kemiskinan yang lebih dalam.

Di luar perkotaan, cerita serupa terjadi dalam wujud yang berbeda. Lihatlah kasus di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, di mana masyarakat adat yang telah tinggal di sana selama berabad-abad terancam terusir karena proyek pembangunan Rempang Eco-City. Nama besar “investasi” digunakan sebagai dalih untuk menggusur masyarakat adat dari tanah leluhur mereka. Bukannya melindungi, negara justru hadir sebagai agen yang memuluskan langkah korporasi. Janji-janji pekerjaan dan relokasi sering kali hanya menjadi bualan yang tak pernah terbukti. Dalam drama ini, masyarakat adat kehilangan haknya atas tanah, budaya, dan identitas mereka.

Mengapa fenomena ini terus terjadi? Jawabannya terletak pada struktur sosial, politik, dan ekonomi yang timpang. Kemiskinan struktural di Indonesia bukanlah hasil dari kemalasan individu, melainkan produk dari sistem yang tidak adil.

Sejak era kolonial, sumber daya dikuasai oleh segelintir elit, meninggalkan mayoritas kawulo wong cilik tanpa akses yang memadai. Warisan ini berlanjut hingga masa kini, di mana kebijakan pembangunan lebih berpihak kepada pemodal ketimbang pemodol (rakyat kecil, yang sering diberakin sama pejabatnya).

Sistem yang ada memperkuat ketimpangan ini. Pembangunan kota, misalnya, sering kali didesain untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah dan atas, sementara masyarakat miskin harus berjuang di pinggiran. Pendidikan dan kesehatan yang seharusnya menjadi hak dasar, tetap menjadi barang mahal bagi mereka yang tidak mampu. Biar kelihatan peduli sama rakyat kecil, dibuatlah proyek Bantuan sosial (bansos) yang bersifat jangka pendek dan tidak menyentuh akar masalah.

Bansos bukan solusi permanen. Ketika hanya berbentuk bantuan tunai atau sembako tanpa disertai pemberdayaan, bansos cenderung menciptakan ketergantungan, bukan kemandirian. Selain itu, program bansos sering kali disusupi korupsi atau salah sasaran, sehingga dampaknya jauh dari optimal. Jika pemerintah serius ingin mengatasi kemiskinan struktural, diperlukan pendekatan yang lebih strategis.

Pemerintah harus mulai dari reformasi kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Penggusuran harus disertai dengan dialog yang setara dan kompensasi yang layak, bukan sekadar pengusiran paksa. Pendidikan gratis berkualitas dan layanan kesehatan gratis harus menjadi prioritas agar masyarakat miskin memiliki pemantik untuk keluar dari kemiskinan. Selain itu pengelolaan sumber daya alam harus mengutamakan masyarakat lokal, bukan sekadar melayani investor asing.

Selalu ada rakyat miskin yang berharap setiap Pemilu, nasib mereka akan lebih baik. Mereka tidak lagi miskin. Namun harapan mereka selalu melahirkan frustasi karena pemimpin dan wakil rakyat yang mereka pilih tak pernah benar-benar berniat menolong mereka mengentaskan diri dari kemiskinan.

Rakyat miskin hanya diundang, dikumpulkan saat mereka butuh suara dan butuh pencitraan. Selain itu, mereka akan diusir, “Minggir lu, miskin!”


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.