Jukung. Begitu nama yang disebut warga di Tumbang Kunyi untuk perahu kecil. Ketek kalau di tempat lain. Aku tiba di Tumbang Kunyi dengan menumpang Jukung melintasi Sungai Barito selama 2.5 jam dari Puruk Cahu, Murung Raya, Kalimantan Tengah. 150 menit menelusuri sungai Barito yang berhulu di Pegunungan Schwarner.
Perjalanan yang indah saat berangkat, dengan pemandangan aktivitas warga di tepi maupun di atas sungai. Perseliweran perahu sesama warga yang memberikan kesan mendalam. Mampir ke warung tepi sungai untuk makan siang dan mengisi tenaga untuk mesin yanmar.
Perjalanan yang indah di siang hari namun cukup menegangkan kala malam, saat kembali pulang ke Puruk Cahu. Kami melawan arus deras, angin malam yang berat, dan satu mitos yang terasa nyata: A n a c o n d a.
Andai kami mematuhi pesan nakhoda jukung untuk pulang sebelum maghrib, mungkin suasana tegang itu tak akan kami alami. Tetapi tugas mewawancarai warga pedalaman Tumbang Kunyi ini baru tuntas hingga pukul 5 sore lewat. Nakhoda mewanti-wanti untuk bergegas agar jangan sampai saat manghrib kami berada di lokasi yang ia peringatkan waktu berangkat tadi.
Ya, waktu perjalanan tadi siang, sang nakhoda menceritakan kisah anaconda di sebuah lokasi yang kami lintasi. Tetapi ia tak berani menyatakan bahwa nama mahluk itu adalah anaconda, namun gambarannya bagi masyarakat luas ya seperti yang ada di film anaconda, yang konon syutingnya di sungai ini.
Ia menceritakan banyak korban ditelan oleh sosok makhluk yang tubuhnya sebesar tong minyak dan panjangnya tak terkira. Besar sekali. Bahkan satu jukung pun bisa dilahapnya dalam sekejap.
Biasanya kejadiannya saat waktu maghrib ketika perahu atau jukung ada di lokasi tersebut. Saat ia cerita saja sudah terbayang ngerinya dan saat kami pulang, tepat saat maghrib kami sudah berada di depan di lokasi tersebut. Ah, ketegangan yang terasa saat diceritakan tadi siang kini terasa lebih mengerikan saat langit mulai menggelap.
“Kita diam saja dulu di sini. Jangan melintas dulu sampai jalurnya aman.” Pak Nakhoda memberitahu kami. Ia pun mematikan lampu di perahu atau jukut atau ketek atau apalah ini namanya. Kami harus diam dan tidak berisik dan tidak menyalakan lampu. Menyundut rokok pun tak boleh. Aku menuruti semua protokol keamanannya.
Tiba-tiba di depan kami arus air sungai berombak. Seperti ada sesuatu yang bertenaga besar meniup atau mendorongnya. Perahu kami goyang tanpa kegembiraan. Aku memikirkan ombak di sungai ini. Seperti ada sesuatu yang menyembulkannya ke atas dan airnya nyiprat ke lenganku.
Lenganku kuangkat dari tepian jukung. Aku menggeser duduk lebih ke tengah-tengah. Aku tak ingin tiba-tiba ada yang muncul di sebelahku di tepi jukung. Berlebihankah perasaan itu? Entahlah tetapi memang itu yang kutakutkan saat itu.
Sekira 20 menit kami bersunyi di perahu. Ombak berulang, jukung kembali bergoyang, desau angin melengkapi kengerian di tengah sungai gelap ini. Rasa takut memantik kesadaran untuk berdoa. Hanya dua hal yang bisa menenangkan kita dari ketakutan: doa dan sapa rindu sang kekasih. Namun saat itu hanya doa yang bisa aku lakukan sebab doa tak membutuhkan sinyal seluler.
Air sungai kembali tenang. Hanya terasa arus seperti biasa. Tak ada lagi air sungai yang menciprati kami. “Aman! Mari kita lanjutkan!” Penguasa perjalanan ini menyalakan lampu dan mesin yanmar yang menggerakkan jukung ini.
Perlahan kami tinggalkan lokasi dengan bukit batu di tepi sungai itu, di mana kisah yang kudengar, di bawah situlah diduga sarang anaconda berada. Entah benar atau tidak keberadaan makhluk itu. Aku tak melihatnya hanya merasakan suasana ngeri yang kuceritakan tadi. Jariku memegang erat tiang atap pada jukung yang makin menjauhi lokasi yang menegangkan tadi.
Leave a Reply