Saat membaca Pedoman Darma Bakti (PDB), saya melihat potret pikiran Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo yang kompleks. Di balik sosoknya yang dikenal sebagai pemberontak dalam sejarah Indonesia, tersimpan pemikiran yang sangat sistematis dan terstruktur. Visinya tentang sebuah negara Islam tertuang dalam ratusan halaman yang detail dan lengkap, mulai dari struktur organisasi, bentuk seragam, lencana dan berbagai peraturan administratif dan perang.
Dulu saya mendapatkan fotokopian sekira tahun 1994. Harus mencari tempat aman untuk bisa membacanya, lalu saya musnahkan. Terpikir saat itu, ingin menuliskan kesan terhadap pemikirannya tapi takut dipenjara. Saat membacanya kembali dengan lebih santai pada tahun ini, di sela-sela proses penulisan Novel saya berjudul DIAMETRAL yang juga membahas suasana sebelum Operasi Pagar Betis yang membuatnya tertangkap, akhirnya saya tulis saja. Saya yakin penguasa saat ini tidak separanoid Orde Baru. Tidak takut lagi sama buku. 😛
PDB merupakan “blueprint” sebuah negara Islam yang diciptakan Kartosuwiryo. Di dalamnya mencakup aspek ideologi, hukum, militer, dan administrasi pemerintahan. Dokumen ini menunjukkan bahwa Daarul Islam bukan sekadar gerakan pemberontakan, tapi memang sebuah struktur negara yang lengkap.
Catatan ini saya tulis sekadar untuk menyampaikan kesan saya terhadap Kartosuwiryo, berdasarkan apa yang ia tulis, apa yang ia maklumatkan, apa yang ia jelaskan tentang situasi politik pada zamannya, sikap politik yang harus ia ambil dan harus dipatuhi oleh para prajurit dan pengikutnya. Dari situ saya mencoba memahami pemikiran maupun kondisi mental yang ia alami.
Apa yang saya serap boleh jadi akan berbeda dengan kesan pembaca lainnya. Kita bisa berbeda pandangan tentangnya. Ingat, ini sangat subyektif ya! Jadi jangan anggap catatan ini sebagai upaya memperjuangkan kembali ide-ide NII, mengusulkannya sebagai pahlawan, atau mempromosikannya kepada Genzi maupun Alpha. Jangan overthinking ke situ ya! Begitupun jikalau ada kesan yang kurang positif terhadap ghafarallahu Kartosuwiryo, saya sekaligus minta maaf kepada keluarganya. Saya cuma ingin mencoba merdeka dalam membaca dokumen sejarah tanpa ada tendensi politik.
Dalam setiap baris Pedoman Darma Bakti, kita bisa merasakan keyakinan yang menggebu-gebu akan sebuah misi suci. Kartosuwiryo bukan sekadar pemimpin pemberontakan biasa. Ia adalah seorang idealis yang obsesif. Baginya perjuangan bersenjata yang ia pimpin bukan sekadar gerakan politik, melainkan “jihad fi sabilillah“, sebuah perang suci. Pandangan dunianya sangat hitam-putih: antara Muslim dan kafir, antara pendukung dan musuh, tanpa ada ruang untuk area abu-abu.
Saya sempat beberapa kali melamun, terutama saat membaca PDB Jilid 2. Lamunan itu membayangkan kembali pada saat beliau masih muda. Saat masih menjadi sekretaris HOS Tjokroaminoto dan berteman dengan sohibnya, Sukarno yang menjadi teman diskusi yang akhirnya menjadi musuh politiknya. Lamunan lainnya adalah, “Ini orang keren banget bisa punya pemikiran seberani dan seradikal ini. Jadi terbayang Tan Malaka, Hatta, Syahrir, Musso, dan tokoh-tokoh yang sezaman dengannya. Keren banget mereka itu, berani berbeda untuk membangun Indonesia.“
Saat kembali membaca dengan santai lembar demi lembar PDB Jilid 1 dan 2, terbayang trauma sejarah yang membentuk pemikiran Kartosuwiryo. Pengalaman penjajahan Belanda sejak masa sekolah hingga masuk dalam pergerakan politik, kekecewaan terhadap hasil perjanjian Renville, dan friksi dengan pemerintah Republik yang dianggapnya terlalu kompromistis dengan Belanda, dan persaingan ideologisnya dengan teman-temannya yang mengusung Nasionalisme dan Komunisme. Semua itu menciptakan sikap yang tidak percaya pada jalan kompromi. Hal ini tercermin dalam penolakannya untuk menjadi Menteri Muda Pertahanan RI. Padahal itu tawaran politik yang justru bisa memberinya pengaruh besar dalam pemerintahan. Kalau kata anak sekarang paling, “Bjirrr, dia cancel itu barang!!!“
Struktur organisasi yang dibangun Kartosuwiryo mencerminkan kepribadiannya yang menyukai keteraturan dan kontrol. Setiap detail diatur, setiap posisi memiliki definisi yang jelas, setiap anggota harus patuh pada hierarki yang ketat. Bahkan soal seragam dan lencana pun tidak luput dari pengaturan yang sangat rinci. Di sini saya melihat sosok pemimpin yang perfeksionis tapi sekaligus overthinking akan kemungkinan terjadinya kekacauan atau pembangkangan.
Menariknya, di balik sikapnya yang keras dan tidak kompromistis, Kartosuwiryo menunjukkan kemampuan administratif yang mengagumkan. Pedoman Darma Bakti adalah bukti dari pikiran yang mampu mengorganisir struktur kompleks dengan sangat sistematis. Kemampuan organisasi yang brilian ini dibarengi dengan kekakuan ideologis yang ekstrem. Ia membangun sistem yang teratur namun tidak fleksibel. Ini sebuah cerminan dari pikirannya sendiri yang terstruktur dan sulit berkompromi.
Pedoman Darma Bakti atau Manifesto politik Negara Islam Indonesia (NII) yang ditulis sekira tahun 1949-1962 membuka tabir pemikiran mendalam tentang pergolakan politik Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan. Dokumen ini menjadi cermin dari kompleksitas pemikiran dan pergolakan batin penulisnya, S.M. Kartosuwirjo.
Dalam manifesto ini Kartosuwirjo menguraikan dengan detail perjalanan perjuangan kemerdekaan Indonesia dari tiga sudut pandang ideologis: Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme. Ia dengan tajam mengkritik keputusan Republik Indonesia yang dianggapnya telah berkompromi dengan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) maupun Renville. Kritik ini menjadi salah satu landasan utama yang mendorong proklamasi NII pada 7 Agustus 1949.
Yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana Kartosuwirjo membangun argumentasi untuk menolak Pancasila. Dalam pandangannya Pancasila adalah ideologi campuran yang tidak murni Islam. Bahkan ia menyebutnya sebagai kombinasi dari Shintoisme Jepang, sinkretisme lokal, dan nasionalisme sekuler. Penolakan ini membawanya pada kesimpulan bahwa hanya Islam yang dapat menjadi solusi sejati bagi permasalahan bangsa.
Saya merasakan tulisan Kartosuwirjo, terutama pada PDB Jilid 2 mencerminkan pergolakan batin yang mendalam. Kekecewaan dan kemarahan terhadap pemerintah RI (Sukarno) terlihat jelas dalam setiap Maklumatnya. Lebih dari sekadar kemarahan. Ada rasa frustrasi yang mendalam karena aspirasi Islam politik yang diperjuangkannya tidak mendapat tempat dalam sistem kenegaraan yang baru. Kekecewaannya ini berpadu dengan keyakinan yang sangat kuat akan kebenaran ideologinya.
Cara berpikir Kartosuwirjo menunjukkan kecenderungan yang sangat dikotomis – hitam atau putih – dalam memandang persoalan. Ia juga memperlihatkan kecenderungan untuk melihat konspirasi, terutama terkait ancaman komunisme yang menurutnya akan menghancurkan Indonesia. Pemikirannya sangat idealistik dan dogmatis, dengan tendensi mesianistik yang kuat. Ia merasa gerakannya adalah penyelamat bangsa dari kehancuran.
Sebagai seorang pemimpin Kartosuwirjo menunjukkan karakteristik kharismatik-ideologis yang kuat. Keteguhan prinsipnya tidak tergoyahkan. Bahkan cenderung perfeksionis dalam hal ideologi. Kondisi mentalnya saat menulis manifesto ini juga menunjukkan seseorang yang berada di bawah tekanan mental yang berat.
Tulisannya juga mengungkapkan kecemasannya yang mendalam akan masa depan bangsa. Visi politiknya yang bercampur dengan unsur mesianisme mencerminkan sosok pemimpin yang merasa terpanggil untuk menyelamatkan bangsa, namun terjebak dalam rigiditas ideologisnya sendiri. Sikapnya yang keras mencerminkan ketidakmampuannya menerima realitas politik yang berbeda dengan idealismenya. Dokumen ini menjadi bukti penting bagaimana pergolakan politik awal kemerdekaan telah membentuk polarisasi yang dalam di masyarakat Indonesia.
Maklumat Terakhir
Ini adalah Maklumat Komandemen Tertinggi Nomor 14 yang ditulis Kartosuwirjo pada Juni 1962, sebelum dieksekusi mati.
Maklumat terakhir ini menunjukkan perubahan psikologis yang signifikan dibandingkan dengan manifesto sebelumnya. Dokumen yang sangat singkat dan lugas ini menjadi testimoni terakhir dari perjalanan spiritual dan ideologis seorang pemimpin gerakan Islam politik yang kontroversial.
Yang paling mencolok dari maklumat terakhir ini adalah perubahan orientasi perjuangan dari “jihad Fisabilillah” (perang di jalan Allah) menjadi “jihad Fillah” (perjuangan dalam dimensi spiritual dan sosial). Perubahan ini mengindikasikan terjadinya transformasi batin yang mendalam. Jika dalam manifesto sebelumnya Kartosuwirjo menampilkan sosok yang penuh amarah, frustasi, dan memiliki tendensi paranoid terhadap ancaman eksternal, dalam maklumat terakhirnya ia justru menunjukkan kedewasaan spiritual dengan menekankan pentingnya “menyelamatkan dzohir dan batin Mujahidin dan Umat Islam.“
Gaya penulisan maklumat ini juga sangat berbeda. Tidak ada lagi retorika berapi-api, kritik tajam, atau serangan ideologis yang menjadi ciri khas tulisan-tulisannya sebelumnya. Sebaliknya maklumat ini ditulis dengan nada yang tenang dan fokus pada aspek spiritual. Perubahan ini mungkin mencerminkan proses introspeksi mendalam yang ia alami selama masa penahanan. Atau boleh jadi merupakan bentuk rekonsiliasi personal dengan takdir yang akan dihadapinya.
Menariknya, meski dalam kondisi sebagai tawanan yang akan dieksekusi mati, Kartosuwirjo masih mempertahankan struktur formal kepemimpinannya. Ini terlihat dari cara ia memimpin sidang MBS (Majelis Besar Syura) dan mengeluarkan maklumat resmi. Ini menunjukkan bahwa hingga akhir hayatnya ia tetap memegang teguh identitasnya sebagai pemimpin spiritual dan politik, meski dalam konteks yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Jika dalam manifesto sebelumnya terlihat sosok pemimpin yang ambisius dan yakin akan kemenangan ideologisnya, dalam maklumat terakhir ini Kartosuwirjo tampak lebih realistis dan fokus pada upaya menyelamatkan pengikutnya. Perubahan ini mungkin merupakan hasil dari kontemplasi mendalam selama masa penahanannya, di mana ia mungkin telah mencapai semacam pencerahan tentang makna perjuangan yang sesungguhnya. Mungkin ia mengalami proses transenden, di mana seseorang mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi setelah menghadapi situasi ekstrem. Kartosuwirjo tidak lagi terjebak dalam dikotomi politik hitam-putih seperti dalam tulisan-tulisan sebelumnya, melainkan bergerak ke arah pemahaman yang lebih spiritual dan universal.
Perjalanan psikologis Kartosuwirjo dari seorang pemimpin gerakan politik-militer yang militan menjadi sosok yang lebih berorientasi spiritual di akhir hidupnya memberikan gambaran menarik tentang kompleksitas jiwa manusia. Transformasi ini menyadarkan saya bahkan dalam situasi paling ekstrem, seseorang masih memiliki kapasitas untuk berubah dan mencapai pemahaman baru tentang makna perjuangan dan kehidupan.
Begitulah apa yang saya rasakan tentang Kartosuwiryo. Apalagi jika membaca tulisan-tulisannya pada surat kabar sebelum ia memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Berbagai artikelnya (dalam bentuk kliping yang saya dapatkan) menunjukkan kekuatan intelektualitas seorang penggerak pada zamannya. Ia termasuk orang keren dan berani melawan arus pada zamannya. Orang-orang sepertinya selalu diburu dan dibunuh oleh musuh politiknya yang berkuasa.
Leave a Reply