“Beberapa sopir Bentor yang kutemui boleh jadi merupakan kacamata dalam melihat Medan. Tetapi aku suka meminjam kaca mata lain agar bisa melihat Medan dari sudut yang berbeda.”
Bentor melaju susuri jalan menuju beberapa titik perhentianku di Medan. Mulai dari Istana Maimun, Masjid Raya, Kuil di sekitar Madras, Rumah Tjong A Fie, dan beberapa pusat kuliner. Karena bukan blogger kuliner dan nggak siap mengulas kulineran, aku tak perlu tulis ya ke mana aja aku kulineran. Kalaupun ada, paling di Vlogue atau di Instagram saja.
Sepanjang perjalanan dan singgah di beberapa titik, terutama saat makan bersama, aku sempatkan ngobrol dengan pengemudi Bentor.
Bentor adalah alat transportasi yang menggunakan sepeda motor sebagai alat penggeraknya, sedangkan tempat duduk penumpangnya berada di sebelah kiri pengemudi. Selain di Medan, aku mengendarai Bentor di Banda Aceh. ~ kata Orang
Obrolan dengan pengemudi Bentor ya obrolan ngalor-ngidul. Namun dari beberapa topik yang terlalui, ada satu yang menyentak pikiranku. Ia mengungkapkan ketidaksukaannya pada warga Medan keturunan Tionghoa. Bukan cuma dari sopir Bentor saja aku menyimak cerita soal ketidaksukaan beberapa warga Medan terhadap warga keturunan. Beberapa orang sopir taksi pun demikian. Kalau aku rata-ratakan, di kalangan mereka yang ekonominya terbilang sulit, punya sentimen negatif kepada warga keturunan Tionghoa. “Orang Cina!” kata mereka, dengan mimik yang tak bersahabat kala menyebutkannya.
Menanggapi sentimen negatif tersebut aku mencoba mengangkat keragaman warga di Medan sejak dahulu. rata-rata mereka menyadari itu. Sudah sejak dahulu kala, di Medan ini memang multi etnis. Nah, kalau begitu, agar Medan lebih aman, kuingatkan agar mereka menghormati aparat penegak hukum. Di luar dugaanku, belum selesai aku mengucap kata “Polisi”, mereka sudah menyemburku dengan berbagai kekecewaan terhadap polisi maupun tentara. “Mereka itu budak-budaknya orang Cina!” Kalau ada masalah antara kami dengan orang Cina, mereka pasti bela itu orang Cina yang bayar mereka. Kami mana bisa beli perut mereka!” ucapnya geram.
Ih, serem. Seperti inikah Medan? Aku ke Medan sebenarnya dalam rangka “pulang kampung” dan mengikuti kegiatan interfaith journey. Dalam perjalanan lintas iman, aku berkenalan dengan teman-teman dari berbagai latar belakang etnis dan agama. Kegiatan yang bernama INGAGE (Interfaith New Generation Initiative and Engagement) ini digeber oleh ICRS (Indonesian Consortiun for Religious Studies) yang berpusat di Jogjakarta. Yang aku rasakan kala berinteraksi dengan teman-teman baru dalam program INGAGE adalah rasa saling menghormati perbedaan keyakinan. Bahkan mereka yang mengakui dirinya Agnostik merasa tak dipojokkan oleh mereka yang memiliki keyakinan akan keberadaan Tuhan. Damai dan dialogis. Itu yang terasa di ruang-ruang pertemuan.
Persoalan multi etnis di Medan pun menjadi obrolanku dengan beberapa peserta INGAGE. Rata-rata mereka memiliki respect terhadap perbedaan tersebut. Khusus persoalan etnis Tionghoa, mereka bahkan menaruh hormat yang cukup baik. “Medan ini terbuka sejak dulu bagi siapa saja yang datang. Medan adalah kota multi etnis sejak mulanya.” Ucap salah seorang teman di pelataran rumah ibadah Parmalim. Namun kedamaian yang kurasakan itu tergelitik oleh temuan sepanjang perjalanan meninggalkan ruang-ruang yang penuh respect itu menuju penginapan. Sopir taksi maupun bentor yang kutumpangi umumnya menyuarakan kekecewaan mereka terhadap etnis Tionghoa. “Kalau ini dibiarkan, Medan akan menjadi seperti Singapura!” imbuh sopir Bentor sambil menyeruput kopi saat kami ngobrol di Kedai Kopi Uleekareeng. Omongannya persis sama seperti luapan emosi sopir taksi yang mengkhawatirkan bisa saja terjadi kerusuhan seperti 98 lalu kalau orang-orang keturunan Tionghoa tak mengubah sikapnya yang pongah dan sombong terhadap warga pribumi.
Aku memikirkan sentimen negatif mereka saat singgah di sudut ruang Rumah Tjong A Fie. Rumah yang dipercaya sebagai museum seorang saudagar kaya Tionghoa yang amat baik menjalin relasi dengan berbagai suku bangsa dan terkenal amat dermawan. Kedermawanan Tjong A Fie terpampang pada salah satu dinding di ruang wasiat. Ia mengamanatkan kepada anak-cucunya agar memberikan bantuan kepada siapapun tanpa terkecuali. Ketidaksombongan Tjong A Fie bagi banyak warga Medan pada zaman dulu membuatnya hidup dalam pujian. Warga Medan keturunan Tionghoa sepantasnya menyerap teladan dari sosok yang menarik seperti Tjong A Fie, terutama dalam mencegah tumbuhnya sentimen etnis yang tak pantas ada di dalam sebuah bangsa yang multi etnik sejak lahir: Indonesia.
Aku pun berharap masyarakat dari kalangan kurang nyaman secara ekonomi juga dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang menumbuhkan rasa saling hormat terhadap berbagai perbedaan SARA. Bagi kalangan terpelajar mungkin mudah menerima perbedaan, tetapi bagi mereka sepertinya perlu pelibatan secara nyata yang akan membuka mindset mereka bahwa hidup damai dalam keragaman itu lebih kaya dan menyenangkan. Kita pun harus selalu ingat, bahwa pertentangan yang ada di negeri ini tak pernah menguntungkan rakyat seperti kita ini. Pertentangan, konflik, dengan membawa label apapun hanya menguntungkan para pengincar kekuasaan yang tak pernah berpihak kepada rakyat. Jadi, cukup sudah dulu kita bertikai. Kini kita berjabat erat melawan segala ajakan untuk menyerang maupun menikam mereka yang berbeda dengan kita. Sekali lagi, tak ada baiknya buat kita. Pun tak membuat anak-anak kita bangga. Itu sudah!
Leave a Reply