Aku lebih tertarik memotret pilar reruntuhan bangunan ketimbang dwi-tunggal Sukarno-Hatta. Karena itu saat memotret, aku tak fokus kepada kedua tokoh bangsa.
Sekadar ingin menyuguhkan “view” lebih luas bahwa negeri ini dibangun bukan oleh tokoh-tokoh terkenal yang beberapa di antaranya kini mewariskan keterkenalan sisilah politik. Negeri ini pun dibangun oleh berbagai keruntuhan. Boleh jadi di antaranya adalah runtuhnya kepercayaan proletar ketika perjalanan bangsa kerap berpihak kepada para borjuis. Dalam pandanganku siang itu, Sukarno-Hatta mewakili tokoh bangsa, pilar reruntuhan mewakili Marhaen (kaum proletar).
Faktanya demikian. Kita kerap mengagungkan Sukarno dan melupakan Marhaen, seorang petani yang sikap hidupnya menginspirasi marhaenisme sebagai jalan tengah antara deklarasi kemerdekaan dan manifesto komunis. Kita lebih menghormati keluarga Sukarno ketimbang keluarga petani-nelayan kaum proletar yang memang hanya dibutuhkan potret kehidupannya saja untuk diteorikan lalu dijadikan konsep berbangsa.
Sampai ke zaman kiwari. Kaum proletar hanya didekati, dipotret, diangkat dalam presentasi dan kampanye, lalu dibiarkan kembali pada kenestapaan. Para tokoh sibuk mengejar proyek-proyek kekuasaan untuk mengejar setoran dan utang-utang politik. Sementara Marhaen tetaplah rakyat jelata yang mengobati sendiri luka-lukanya.
Leave a Reply