“Nyatanya aku masih di sini. Di sebuah kota, di mana cinta mengalir di dalam nadi” ~ Puisi Dadakan MT di #MalamPuisi #Jazzpoem
Setelah puluhan tahun tak membacakan puisi di atas panggung, akhirnya aku terjebak dalam situasi di mana harus tampil. Sejak pengumuman yang dikeluarkan Rumah Kata Indonesia (RKI), aku mencari-cari puisi yang akan kubacakan. Dapat satu puisi karya Mustofa Bisri. Tapi rasanya tak enak jika tak membacakan karya sendiri. Apa lagi teman-temanku, Adi WKF, Khrisna Pabichara, Erha Limanov, dan Abah Zoer membawakan puisinya sendiri.
6 Jam sebelum acara dimulai kubaca kembali buku Nyawa Kata, kumpulan puisi yang pernah kubuat. Hm, rasanya tak ada yang pas untuk dibacakan di depan khalayak penyuka puisi dan jazz. Akhirnya, kucoba comot beberapa bait dari buku puisi pribadi itu dan ditambahkan dengan perasaan terkiniku. Kukirimkan ke Utami Utar untuk dicetak, lantaran printerku ngadat saat diperlukan mendadak. Tepat ketika acara dibuka, aku mendapatkan 2 lembar cetakan puisiku, yang setelah kubacakan, judulnya diubah oleh Khrisna Pabichara melalui akun Twitternya, @1bichara menjadi “Kutu-kutu Penguasa”. Boleh juga!
Sejujurnya, itu kali pertama manggung berpuisi di depan teman-teman yang sehari-harinya hidup dalam puisi. Grogi? Pasti! Kakiku sebetulnya sempat gemetar. Tetapi edifikasi bang Idang Rasjidi, kala memanggilku rada mengurangi rasa tak percaya diri. Aku melangkah memegang ujung pelantang suara yang mengejutkan. Nyetrum!
Kubaca puisiku apa adanya. Aku nggak mikirin gaya. Yang penting membaca. Itu saja! Tetapi entah kenapa kala memulainya, tiba-tiba kuucapkan sebait kata yang kutulis di permulaan tulisan ini. Begitu pun saat mengakhiri puisiku. Kata-kata tersebut kembali terucap begitu saja. Improvisasi, kalau kata teman-teman yang biasa manggung.
Ya, begitulah. Rupanya perlu juga memberanikan diri naik ke panggung puisi, yang selama ini kurasakan berat. Sebab bagiku, berpuisi lebih berat dari pada bernyanyi apa lagi menyampaikan presentasi.
KUTU-KUTU PENGUASA
Nyatanya aku masih di sini
di kota yang memenjarakan rindu
Meski udara kian berdebu, langitnya kerap kelabu,
Meski kutengarai makin banyak para penipu.
Meski di jalan masih kutemui lentera padam,
Meski kutengarai ada mafia bernurani kelam.
Tetapi nyatanya aku masih di sini.
Di sebuah kota, dimana cinta mengalir menjadi nadi
Dulu, masih bisa kutemukan
pepohonan yang dipenuhi coretan tangan
syair cinta pujangga desa, menebar puja pada perempuannya
sajak-sajak proletar, memaki penguasa yang makin liar
puisi sunyi gadis malam, memabukkan jejaka dalam khayalnya.
namun
syair cinta, sajak proletar, puisi sunyi
kini berganti dengan wajah-wajah pemangsa kekuasaan
Lihat pohon perlambang kuasa itu!
Pohon keramat itu tumbang disambar petir lima tahunan
Hangus. sangat hangus
Tetapi ingat, itu pohon keramat!
Walaupun hangus, tetap belum mati
bahkan semaunya bermetamorfosis
Menjadi apapun yang diinginkannya.
Menjadi pohon baru walau tak sekeramat dulu
Menjadi puluhan payung warna-warni
yang membingungkan rakyat sendiri kala memilih.
Rupanya masih banyak rakyat yang merindukan
kekeramatan antek-antek penguasa pohon keramat itu
lantaran mereka tak percaya lagi
kepada kebo ireng congor belang
kepada buto ijo yang semakin bego
kepada kebo nelangsa yang pandai menjual luka
yang tak sanggup membangun, sebab tubuh semakin tambun
Sebagian rakyat tak peduli lagi pemimpinnya kencing berlari
Mereka terlalu sibuk mencari kutu
Kutu rambut yg berkembang biak di kepala anaknya
Kutu busuk yg bersembunyi memakan tai
Kutu beras yg ngentit jatah makan bocah ingusan
Kutu kelamin yg mengancam surga dunia para pezinah
Kutu anjing yg mengganggu seisi rumah
dan kutu kupret yang paling banyak di negeri ini
Ya, kutu kupret!
Kutu kupret, tega makan teman sendiri
Kutu kupret, tak malu menjilati pantat musuhnya
Kutu kupret, percaya diri ciptakan dusta
Kutu kupret, mengentit harapan anak-cucu kita
Kutu kupret, meledakkan bom menutupi kepengecutannya
Kutu kupret, tak kenal terima kasih atas jasa-jasa
Kutu kupret, menuntut uang kadedeuh tanpa jerih payah
Kutu kupret, menyanyikan lagu lama
Kutu kupret, berkhotbah meninabobokan kaum pelupa
Kutu kupret, berputar-putar mencari mangsa
Kutu kupret, ada di depan saya
Kutu kupret, ngumpet di belakang Anda
Kutu kupret, menjual agama
Kutu kupret, merancang perda demi amplop buat beli wanita
Kutu kupret, memecat sahabat kolusinya
Kutu kupret, memohon jabatan sebagai bayaran
Kutu kupret, menculik nyawa nyuruh tetangga
Kutu kupret, meniup peluit kejar setoran
Kutu kupret, lupa kalau istrinya sudah lima
Kutu kupret, meronta-ronta di ujung ajalnya
Kutu kupret, memohon maaf atas kekejamannya
Kutu kupret, memaafkan koruptor karena takut rahasia bocor
Rakyat kita melawan sendiri kutu-kutu kupret
Sebab pemimpinnya takut mafia penebar mencret
Tetapi nyatanya aku masih di sini.
Di sebuah kota, dimana cinta mengalir di dalam nadi
Bogor 14 Desember 2013
Leave a Reply