Beberapa kali ke Kota Tua tak pernah membosankan buatku. Ketika SD aku pertamakali ke Museum Fatahillah yang pada mulanya sebuah gedung Balai Kota Batavia. Pernah juga kusambangi Museum Bahari, Menara Syahbandar yang Tersisa dari pagar benteng VOC untuk memantau lalu lintas di pelabuhan Sunda Kelapa, Bangunan lain yang saat ini berfungsi sebagai Museum Wayang, Museum Keramik, Cafe Batavia, dan Kali Ciliwung sebagai lalu lintas utama segala perkara yang dilakukan oleh VOC dari Pelabuhan ke titik terdalam Batavia. Termasuk beberapa bangunan tua lainnya yang belum kuketahui kisah lampaunya.
Kali ini aku kembali ke Kota Tua untuk menyerap kisah lampau yang belum tuntas oleh mataku dan mata kamera. Tapi sayang sekali perjalanan bersama “Blue Team” tak mendapatkan rencana utama, yaitu menelusuri ruang-ruang Museum Fatahillah sebab gedung tersebut masih dalam proses renovasi. Ke mana akhirnya?
“Kalau Toko Merah sebelah mana, Bang?” Tanyaku kepada pedagang Es Selendang Mayang yang biasa mangkal di depan Museum Fatahillah. Bagi yang belum tahu, Es Selendang Mayang adalah minuman khas Betawi Tempo Doeloe. Selendangnya terbuat dari sagu aren dan tepung beras. Biasanya warna-warni, ada putih, merah, dan hijau. Sebelum disajikan ke mangkuk atau gelas, selendang mayang yang berbentuk awal adonan lebar dipotong-potong dadu. Cairan penikmatnya merupakan perpaduan gula putih, gula merahn, yang disempurnakan dengan santan kelapa. Nikmatnya khas Betawi banget. Dengan uang Goceng (Rp.5.000,-) kita bisa menikmatinya.
“Wah, itu mah jauh, di seberang kali bes…” Jawabnya seraya bergegas setelah ia melihat Satpol PP mengusir para pedagang lainnya dari pelataran Museum.
Usai menikmati Es Selendang Mayang khas Betawi, kulanjutkan perjalanan ke Museum Seni Rupa dan Keramik yang jelas terlihat buka dan dkunjungi banyak orang. Dengan harga karcis Ceban (Rp.10.000,-) pengunjung bisa melihat berbagai benda artistik berupa keramik, patung kayu, lukisan, dan banyak ragam. Keramik peninggalan zaman Majapahit kukira lebih mendominasi ruang-ruang Museum ini. Ada pengumuman dilarang memotret menggunakan kamera, tetapi kalau pakai smartphone diperbolehkan oleh petugas loketnya.
Gedung yang memiliki 8 pilar pada bagian depannya ini dibangun pada 12 Januari 1870. Pemerintah Hindia-Belanda menggunakannya untuk Kantor Dewan Kehakiman pada Benteng Batavia (Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia). Letaknya di sebelah kanan Museum Fatahillah, jika kita menghadap ke arah Kantor Pos.
Kelar memasuki beberapa partisi ruangan Museum Seni Rupa dan Keramik, aku berencana lanjut ke Tepi Kali yang diapit jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur. Tujuannya adalah memotret Toko Merah, sebuah gedung yang dibangun pada 1730 dengan memadukan kemegahan arsitektur Eropa dan keindahan arsitektur Tionghoa.
Gedung ini pertama ditempati oleh Baron Van Imhoff (1705-1751), Gubernur Jenderal VOC yang lebih suka menetap di Istana Bogor dan bekerja ke Balai Kota Batavia, naik kereta api. Gedung ini dinamakan Toko Merah setelah menjadi rumah dan toko milik Oey Liauw Kong, pada 1851.
Dalam perjalanan menuju Toko Merah, perhatianku terserap ke bangunan tinggi tak terawat. Letaknya di antara Kantor Pos dan PT. Jasindo. Dibandingkan gedung tua lainnya di kompleks Oud Batavia, gedung yang bertuliskan Dasaad Musin Concern pada temboknya ini paling tak terawat. Pada sisi depan, tulisannya agak berbeda: Dasaad Musin Building. Meskipun hanya sisa-sisa reruntuhan, dari beberapa sumber bacaan yang kudapat, rupanya gedung ini pun menyisakan kisah kekuatan pengusaha pribumi.
Dasaad Musin adalah pengusaha pribumi asal Lampung. Hubungannya sangat dekat dengan Sukarno. Konon ia kerap membantu Presiden Pertama RI itu dalam beberapa persoalan keuangan maupun negosiasi. Untuk mengetahui lebih jauh kiprah Dasaad Musin, kusarankan baca-baca saja dari berbagai sumber di internet. Aku pun sedikit menuliskannya karena membaca dari beberapa sumber online, salah satunya wikipedia. Kalau aku “copas”-kan di sini, boleh jadi akan mempersempit peluang Anda untuk mendapatkan informasi yang lebih luas.
Aku berharap rencana restorasi bangunan tua di Kompleks Wisata Kota Tua diseriusi kembali. Terutama gedung Dasaad Musin Concern ini. Sayang sekali jika bangunan-bangunan tua di Kota Tua ini hanya dikenal keangkerannya saja, ketimbang sejarah yang melekat menjadi daki dan karat pada sisa bangunannya.
Kemolekan arsitektur dan sejarah bangunan tua di Oud Batavia ini sepantasnya lebih diminati oleh para pengunjung. Sayang sekali jika yang menjadi pembicaraan hanya perkara hantu dan segala bebunyian yang terdengar hanya oleh beberapa orang saja. Ada perkara yang lebih penting dibanding perkara hantu, yaitu bagaimana lokasi ini menyimpan harta karun pengetahuan sejak zaman Fatahillah, VOC, Orde Baru, Orde Lama, Orde Koalisi, dan entah Orde apa lagi. Seperti yang kusimak-dengar dari obrolan remaja yang mengunjungi Kota Tua ini. Yang mereka bahas bukannya sejarah, malah tentang penampakan hantu di Museum Fatahillah, Kantor Pos, Toko Merah, dan beberapa lokasi lain di lokasi ini. Sayang sekali!
Leave a Reply