Komdigi Mau Batasi Medsos untuk Anak

Pernahkah kita mikir, “Apakah YouTube dan TikTok hanya sekadar hiburan bagi anak, atau banyak ilmu pengetahuan dan inspirasi yang mereka dapatkan dari situ? Atau apakah ada risiko yang mengintai di balik platform digital paling populer di kalangan anak tersebut?”

image generated by dreamina ai

Sementara kita sibuk dengan pekerjaan, anak kita mungkin sudah menjelajahi dunia digital yang penuh tantangan. Apakah sebagai orang tua kita melepaskan begitu saja atau ada kontrol?

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) berencana membatasi anak-anak menggunakan media sosial dengan tujuan mulia: melindungi anak kita dari dampak negatif dunia maya. Rencana ini boleh jadi terpicu oleh Australia yang menerapkan aturan yang melarang anak di bawah usia 16 tahun bermain media sosial. Apakah solusi ini tepat untuk Indonesia?

Merespon rencana tersebut, ICT Watch membuka polling melalui WhatsApp Channelnya di https://channel.internetsehat.id. Ada 11 ribu responden yang menjawab polling tersebut.

Berdasarkan hasil polling tersebut, sebanyak 35% anak usia 7-12 tahun (jenjang SD) dan 19% anak di bawah 7 tahun aktif menggunakan media sosial. Platform seperti YouTube (45%) dan TikTok (24%) mendominasi pilihan anak-anak, yang menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi bagian dari keseharian mereka—bahkan sejak usia prasekolah. Fakta ini menggambarkan anak-anak kita melekat dengan media sosial jauh sebelum usia remaja.

Sebaliknya, hanya 10% anak yang sama sekali tidak bermain media sosial. Artinya, mayoritas anak di berbagai jenjang usia bermedia sosial, terlepas dari pengawasan orang tua atau tidak. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah melarang atau membatasi akses anak ke media sosial merupakan langkah yang tepat?

Memang Parlemen Australia menerapkan kebijakan keras dengan melarang anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial tanpa persetujuan orang tua. Kebijakan ini diapresiasi karena berfokus pada perlindungan mental anak-anak, namun juga memicu kritik karena dianggap terlalu membatasi kebebasan anak dalam menjelajahi teknologi. Di Indonesia, apakah kebijakan seperti ini memungkinkan diterapkan?

Dari beberapa berita yang kubaca, Komdigi sedang menjajaki kebijakan serupa, yang melibatkan kolaborasi dengan Kementerian Perlindungan Anak dan KPAI. Namun, para kolaborator juga harus mempertimbangkan salah satu pendapat yang sudah saya tulis di blog ini, “Apakah benar membatasi anak dari media sosial akan melindungi mereka, atau justru mendorong mereka mencari jalan lain yang lebih berisiko?

Melarang anak menggunakan media sosial pada usia tertentu mungkin terdengar seperti solusi sederhana, tetapi kenyataannya boleh jadi ini hanya akan menjadi “plester sementara” pada luka yang dalam. Yang sebaiknya kita pikirkan bukan cuma batasan usia, melainkan apakah pembekalan literasi digital kita memadai di kalangan anak maupun orang tua?

Data polling menunjukkan bahwa platform seperti YouTube dan TikTok digunakan oleh anak-anak untuk hiburan, bahkan pembelajaran. Artinya, media sosial tidak melulu negatif, asalkan penggunaannya diarahkan dengan baik. Boleh saja kita membuat larangan, karena budaya politik yang ditanamkan oleh pemerintah memang selalu mengedepankan pelarangan. Akan tetapi wahai para pemangku kebijakan, langkah seperti penguatan literasi digital, digital parenting, dan kesadaran digital wellbeing juga harus diprioritaskan.

image generated by dreamina ai

Daripada melarang anak kita bermain di sungai, apakah tidak lebih baik kita ajarkan mereka berenang dan memahami habitat sungai? Kita memang perlu kebijakan pembatasan namun kita lebih butuh kebijakan yang memberdayakan.

Ini bukan cuma tugas Kementerian Komdigi. Kementerian dan lembaga lainnya yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak, kesejahteraan masyarakat, pendidikan dan kebudayaan juga mesti memiliki roadmap yang sama. Jangan masing-masing main proyek kegiatan saja. Buat saja roadmap dan serahkan kegiatannya pada pihak-pihak yang lebih tepat dan lebih dekat dengan masyarakat. Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih inklusif dan kontekstual (baca: memahami konteks potensi dan budaya masyarakat yang beragam).

relate gak sih sama artikel ini: 6 Aspek Budaya Digital, yang Ke-5 Parah, sih!


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.