Menginjakkan kaki di tanah Papua adalah impianku sejak lama. Terutama sejak seorang saudaraku menetap di Negeri Cenderawasih itu hingga aku kehilangan kabar tentangnya. Seingatku, tahun 1995 ia menjejakkan kaki di tanah damai, Papua. Di rentang waktu, sekali ia ke Jakarta saat mengikuti acara para jurnalis independen sekitar tahun 2000. pertemuan yang singkat di Jakarta dilapis dengan kehilangan kontak lagi hingga dini hari tadi.
Sempat terlintas pertanyaan dalam pikiranku yang kotor, apakah saudaraku ini hilang di Papua. Tengah tahun 2014 saat aku ke Papua, kusempatkan mencarinya. Tak kutemukan. Begitupun di akhir 2014, ketika kembali ke sana, hanya kudapatkan kabar dari rekan jurnalis di Papua, “orang hilang di sini, sudah biasa. lautnya dalam, hutannya luas.” jawabnya sambil terkekeh-kekeh.
Terakhir kemarin, saat berbuka puasa bersama teman-teman komunitas beragam agama dan aktivasi di Abepura pada 30 Juni 2015. Di balik suasana damai yang kurasakan dari aktivitas teman-teman di Papua, terselip kerinduan yang tak terucapkan kepada saudaraku itu.
Tetapi pencarianku belum selesai. Selalu kulakukan berbagai upaya untuk menemukannya. Aku tak yakin dengan kabar hilangnya dia. Aku tak yakin dengan spekulasi ia dihilangkan karena kekritisannya, sebagaimana kabar yang kudapatkan beberapakali. Sebab ia bukan orang penting. Cuma jurnalis miskin yang belajar bahasa Inggrisnya cuma dari radio gelombang SW setiap shubuh ketika kecil. Ia cuma lelaki yang sering berjalan kaki bersamaku di Jakarta, Bekasi, Tangerang, atau nongkrong di Utan Kayu, Meruya dan Tanabang.
Semalam rupanya waktu yang telah ditentukan. Pencarianku melalui penelusuran di tengah obrolan dengan seseorang dari jam 23 sampai jam 02, membuahkan sebuah informasi tentangnya dan lebih dari itu, sebuah nomor telepon lamanya. Aku meyakinkan diri, semoga ia masih menggunakan deretan nomor telepon lawas tersebut. Sebab yang kuingat, ia memang pandai menyimpan sesuatu yang ia miliki. Termasuk menyimpan kenangan.
Jam 03 WIB setara dengan jam 5 WIT. Aku langsung mengirimkan SMS pembuka dengan kode antara kami. Jika ia benar saudaraku yang hilang, pasti langsung meneleponku. Jika bukan, pasti hanya menjawab SMS atau mengabaikannya.
Kutunggu 7 menit dan teleponku berbunyi. Sang anak hilang di Papua kutemukan. Seperti keyakinanku, ia langsung menumpahkan rindunya selaras dengan kenangan-kenangan kala kami bersama di tahun 93 dan 94-an. Ia Sali Pelu, penulis buku Poro Kasbi, anak yang hilang di Papua, kini kembali terhubung denganku. Kami saling bersyukur, saling puji, saling hina, dalam obrolan hampir sejam lamanya.
Salah satu yang kuingat dari omongannya di telepon tadi pun menjadikan pegangan buatku tentang betapa mulianya masyarakat Papua dengan peri kehidupan mereka. Betapa saling respect rakyat Indonesia di Papua.
“Hey, seperti kamu tahu, 21 tahun saya hidup di Papua. Sebagai pendatang dari Ambon dan sebagai Muslim, saya tak pernah sedetik pun merasa terancam oleh saudara kita di Papua. Justru mereka banyak mengajarkan saya tentang bagaimana hidup saling menghargai antar sesama manusia dan saling menghormati tempat-tempat sakral penganut agama dan keyakinan. Saya betah di Papua sebab di sini saya belajar banyak tentang kesetiakawanan dan kehormatan, belajar dari saudara kita di Papua.” ~ Sali Pelu.
Begitulah jika Sali Pelu mulai bicara. Kita orang sebagai warga negara adalah satu: orang Indonesia. Dalam spirit kita, Papua, Ambon, Padang, Jawa, Sunda, Betawi, Suku lainnya dan anutan yang menyertainya hanyalah identitas kultural, asal dari mana kita dilahirkan. Lebih dari itu, kita adalah Nusantara, kita adalah Indonesia, negara besar yang ditakuti secara diam-diam oleh negara durjana.
Sebenarnya, tanpa koar-koar di media sosial, saudara kita di Papua sudah lebih paham dengan kultur mereka sendiri. Mereka lebih mengerti kehidupan yg mereka jalani. Begitu pun dengan saudara kita di Ambon, Poso, Lampung, Aceh, Jawa Barat, dan lainnya, mereka masing-masing memahami hidup dan tantangannya sendiri. Kita hanya menyatukan spirit masing-masing saudara sebangsa, bahwa kita bukan rakyat yg mudah dibeli atau mudah dipancing oleh bergajulan yg selalu ingin mencari keuntungan ekonomis dan politik dari setiap konflik yg mereka rekayasa. Kita tak lagi bisa terpancing oleh ceracau mereka yang besar mulut di media sosial, yang lebih banyak mengumbar syak-wasangka ketimbang meneliti fakta.
Rakyat Indonesia sudah cukup lama belajar dari berbagai rekayasa konflik yang hanya mengorbankan saudara kita sesama rakyat kecil, yang hanya diingat eksistensinya ketika Pemilu/Pilkada saja.
Leave a Reply