Namanya Kasnuni. Sebelum berbincang di tengah ingar-bingar konser musik di Alun-alun Kota Pemalang, aku memerhatikannya melayani pembeli kacang rebus yang dijualnya. Penerangannya cuma lampu semprong berbahan bakar minyak tanah. Untuk melindungi lampu, ia menggulungkan kertas pada semprong lampunya.
“Setiap hari jualan kacang rebus di sini, mbah?” Tanyaku sambil mengelupas kulit kacang rebus yang sudah kubayar.
“Iya, setiap sore sampe malam. Apa lagi malam minggu seperti ini. Rame!”
“Kacangnya tanam sendiri, mbah?”
“Ndak. Beli aja di pasar. Sekarang mau nanam di mana? Pekarangan ndak punya.”
“Sebungkus jualnya duaribu Rupiah. Terjual berapa bungkus sekali jualan, mbah?” Rasa kacangnya enak banget. Manis legit. Tak cukup sebungkus buatku.
“Ya, lumayan buat sehari-hari.”
Aku mendapatkan 2 bungkus yang tersisa. Bungkusannya dari kertas koran, sebagaimana lazimnya pembungkus makanan yang digelungkan saja. Sambil ngobrol, mbah Kasnuni merapihkan perkakas jualannya. Ia meniup lampu semprongnya, memindahkan sisa minyak tanah dari lampu tersebut ke botol plastik bekas air mineral. “Harus diirit. Mangkin hari minyak mangkin mahal.” Katanya sambil bangkit berdiri memeriksa barang-barang miliknya dalam sebuah ember hitam yang menjadi alas tampah bambu tempat menaruh kacang rebus.
Tampah adalah perkakas dapur yang terbuat dari anyaman belahan batang pohon bambu yang dibentuk bundar seperti piring berdiameter antara 65-80 cm.
Tampah biasanya digunakan untuk menampiberas yaitu membersihkan beras dari kotoran-kotoran sebelum di cuci dan dimasak dengan cara di ayak secara manual tangan, kemudian kotoran akan otomatis tersisih. Selain untuk menampi beras, tampah juga berguna untuk menaruh jajanan. Alat ini masih banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia karena tampah adalah alat yang bagus, murah dan banyak manfaatnya serta ringan bila digunakan.
Di kota-kota besar mungkin perkakas ini sudah jarang dipakai. Entah dengan apa orang di kota-kota besar menampih beras. Atau boleh jadi saat ini beras yang ada di rumah orang-orang kaya sudah tak perlu ditampih lagi karena sudah dibersihkan dari pabrik sehingga minim kulit gabah dan kerikil.
Kembali ke Mbah Kasnuni. Sebelum pulang ia menyempatkan diri menyapa ibu-ibu lain sesama penjaja makanan di alun-alun kota Pemalang ini. Ia terlihat bahagia sebab dagangannya laris. “Aku pulang duluan, ya.” Sapanya kepada penjual kue yang juga menjajarkan jajanannya di tampah serupa.
Kebahagiaan yang kuperhatikan dari raut wajahnya meresap ke diriku, merasakan kebahagiaannya.
Ya, bahagia itu kadang sederhana. Sekadar menyaksikan orang tua seperti mbah Kasnuni saja kita bisa merasakan bahagia.
Begitupun dengan kesedihan dan kekhawatiran, begitu mudah meresapi kesadaran kita saat menyaksikan para petani yang tak merdeka menentukan harga jual hasil bumi yang mereka tanam. Harga diatur semaunya oleh tengkulak dan atau mafia pasar. Harga ditentukan berdasarkan amarah para pengambil keputusan yang pada umumnya beku hati untuk merasakan kebahagiaan maupun duka yang dialami rakyat jelata.
Terima kasih, mbah!
Leave a Reply