Siapa yang setuju sama saya, kalau Jakarta punya CommuterLine (KRL), Light Rail Transit (LRT), Mass Rapid Transit (MRT), dan Bus TransJakarta (TJ) yang adem dan menjadi andalan kita sehari-hari? Belum lagi Mikrotrans yang terlanjur disebut Jaklingko alias angkot. Ke mana-mana gratis dan siap mengantar kita blusukan ke jalur sempit di perkampungan. Dengan fasilitas transportasi publik yang sudah oke itu, kenapa para pejabat kita masih lebih milih pakai mobil dinas dengan Patwal bersirine meraung-raung seolah teriak, “Minggir lu, miskin!”? Kenapa?
Ini esai imajiner tentang 3 alasan pejabat kita nggak perlu naik angkutan umum. Kita harus memaklumi alasan-alasan ini.
1. “Saya Pejabat, Bukan Kuli!”
Di kepala sebagian besar pejabat, naik transportasi umum itu tabu. Mereka itu kan pejabat, orang penting, bukan kuli atau budak korporat, masa tega sih mereka harus berdesak-desakan di KRL jam 7 pagi. Apalagi di jam-jam di mana para “zombie” menguasai Stasiun Manggarai. Apa nggak kasihan mereka menunggu Bus TJ yang antreannya panjang dan haltenya nggak adem? Itu sama saja menjatuhkan “Kelas” mereka. Meskipun mereka sering bilang, “saya berasal dari rakyat, bekerja untuk rakyat” tapi ya jangan samakan mereka sama kuli kayak kita-kita ini dong.
Lagi pula mana mungkin mereka kuat naik angkutan umum. Lha berapa pejabat yang tahu ongkos Mikrolet naik dari Rp3.000 jadi Rp5.000 pada Januari 2022 dan naik lagi jadi 6.000 pada September 2022? Atau berapa lama waktu tempuh Bus TJ dari Blok M ke Monas kalau macet? Mereka tak perlu tahu sebab mereka orang penting. Wajar kok kalau rombongan dinas mereka bebas nyelonong jalur busway tanpa peduli dengan kita yang berdesakan antre di halte busway.
2. “Gimana Kalau Ada yang Menyerang Saya?“
Karena mereka orang penting keamanannya harus diprioritaskan. Kita harus mengerti kekhawatiran mereka, seperti “Bagaimana kalau ada teroris? Atau kalau ada orang miskin yang menyerang saya?”. Para pejabat ini beda kelas sama rakyat yang kena begal di jalan, yang kena palak di parkiran Indomart/Alfamart.
Lagi pula ini Indonesia bro, bukan Swedia yang pejabatnya wajib pakai kendaraan umum. Beda negara beda budaya dong. Di Swedia mah anggota parlemen naik kendaraan umum ya aman-aman aja, sebab mereka nggak bikin rakyatnya mangkel. Mereka juga gak punya mobil dinas yang bisa semaunya nerjang jalan pakai Patwal. Beda dong sama di Indonesia. Boleh jadi banyak rakyat yang kesal karena kebiasaan keluarga pejabat flexing gaya hidup, sok punya uang punya kuasa, dan apa lagi? Maka, mengertilah kalau mereka takut bertemu sama rakyatnya sendiri jika tanpa pengawalan.
Bayangkan skenario ini: Seorang menteri naik MRT, lalu di sebelahnya duduk buruh pabrik kompor yang curhat soal upah minim. Atau anggota Dewan lagi nunggu di halte Angkot lalu ditegur preman yang cuma mau minta dua rebuan tapi dia overthinking takut ditagih janji kampanye.
Itu mimpi buruk buat mereka, lee!
Bagi pejabat yang terbiasa dikawal, berinteraksi langsung dengan rakyat yang mungkin marah karena tanahnya digusur atau air ledengnya tak layak minum adalah ancaman. Karena itu biarlah mereka merasa aman dikurung dalam mobil dinas berkaca film gelap dan kawalan petugas yang gagah.
3. Prioritas dan Tertib Administrasi
Ada aturan tak tertulis di birokrasi kita: semakin tinggi jabatan, semakin mevvah mobil dinasnya. Eselon I pakai Toyota Camry, eselon II pakai Innova, dan seterusnya. Seolah-olah kendaraan adalah cermin pangkat. Itu adalah rezeki dari Tuhan, dan nggak baik menolak rezeki. Karena itu kendaraan dinas adalah prioritas.
Padahal di Bus TransJakarta juga disediakan kursi prioritas buat disabilitas dan lansia. Kalau mau dibuatkan kursi prioritas buat pejabat, saya sih setuju aja. Asal tahan malu aja diliatin sama emak-emak tukang cilok yang mangkal di seberang Stasiun Kota.
Lagi pula “Kan saya sudah kerja keras buat rakyat, wajar dong kalau dapat fasilitas.”
Iya sih, tapi mereka lupa ibu-ibu penjual cilok juga kerja keras harus berdiri berjam-jam di seberang Stasiun Jakarta Kota demi memenuhi biaya hidup keluarganya.
Lagi pula pemerintah kan sudah menyediakan anggaran pengawalan polisi dan BBM mobil dinas. Itu uang negara, bukan uang rakyat. Meskipun anggaran itu bisa dipakai untuk bangun 100 posyandu atau program Makan Bergizi Gratis (MBG), tapi pejabat kan harus tertib administrasi. Anggaran harus dihabiskan, fasilitas mewah harus dipakai.
Jadi begitulah alasan imajiner kenapa pejabat kita nggak layak naik kendaraan umum. Memang masalahnya bukan cuma transportasi. Ini soal mental yang biasa menjadikan jalan raya maupun media sosial sebagai panggung kekuasaan. Selama mereka masih menganggap diri sebagai tuan yang harus dilayani, bukan pelayan yang harus mengabdi, selama itu pula Bus TransJakarta hanya akan jadi tontonan mereka dari balik kaca mobil dinas sambil tertawa bangga membunyikan sirine “Trotot, trotot, minggir lu, bangsat!”
— Ditulis saat ngetem di Halte Feeder Busway Belakang BUMN Nunggu Bus yang lewat Cikini.
Leave a Reply