Jadilah Koruptor, Lu Bebas Mau Ngapain Aja!

Kasus Harun Masiku adalah salah satu kisah yang layak masuk ke dalam folklore politik Indonesia. Mantan calon legislatif dari PDI Perjuangan ini menjadi buronan KPK sejak 2020 atas dugaan suap untuk mengatur posisi di DPR. Keberadaannya bak hantu gentayangan. Kadang muncul di imajinasi publik melalui kabar burung, tetapi tak pernah bisa ditangkap.

Di balik drama pengejaran Harun, ada sederet nama yang telah mendahuluinya ke alam baka masuk penjara. Wahyu Setiawan (mantan Komisioner KPU) tapi kini sudah bebas menikmati jasjus udara segar. Bagi penjahat luar biasa (koruptor) penjara hanya menjadi persinggahan sementara. Untuk sebagian politisi, penjara ibarat toilet: masuk sebentar, menyelesaikan “urusan,” lalu keluar seperti biasa.

KPK, lembaga anti-rasuah yang pernah jadi kebanggaan bangsa, sering bermutasi jadi alat politik ketimbang institusi penegak hukum yang independen. Dalam kasus Hasto Kristiyanto, misalnya, banyak pihak mempertanyakan mengapa kasus ini baru bergerak di tahun 2024, setelah bertahun-tahun mengendap.

Narasi bersih-bersih korupsi berubah menjadi drama “memberi pelajaran” kepada politisi yang dianggap mulai “mengganggu.” Ada yang bilang, menangkap koruptor di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks politik: siapa yang sedang memegang kendali, dialah yang menentukan siapa yang harus masuk bui.

Nggak ada seujung kuku pun saya bersimpati sama koruptor. Saya cuma melihat, perlu waktu bertahun-tahun KPK untuk mengadili Hasto, Harun Masiku, sementara Wahyu Setiawan udah bebas karena promosi “Tebus Murah” di Alfamart.

Bagi awam macam saya, ini adalah panggung sandiwara. Alih-alih membersihkan negara dari korupsi, KPK sering terlihat memainkan peran sebagai aktor dalam drama politik. Jika dibandingkan dengan China yang berani menghukum mati koruptor, Indonesia adalah surga bagi koruptor. Di sini, penjara adalah fasilitas rehat, dan harta yang dikorupsi seringkali tetap utuh atau bahkan tidak seluruhnya disita.

Para politisi di republik ini berhasil melakukan normalisasi terhadap ordinary crime Korupsi. Tak ada itikad menerapkan zero toleransi terhadap korupsi.

Dalam novel “Korupsi” Pramoedya Ananta Toer, korupsi digambarkan bukan hanya sebagai tindakan kriminal, tetapi sebagai budaya yang telah berakar dalam struktur masyarakat. Pram menunjukkan bagaimana kekuasaan bisa merusak moral seseorang yang tadinya lurus. Korupsi adalah penyakit yang sulit diberantas karena melibatkan seluruh ekosistem, dari level rendah hingga tertinggi. Dalam konteks hari ini, novel tersebut adalah refleksi pahit: korupsi bukan sekadar masalah individu, tetapi juga sistem yang melindungi dan merawatnya.

Indonesia, dengan segala dramanya, membutuhkan lebih dari sekadar penangkapan dramatis untuk memberantas korupsi. Diperlukan keberanian seperti China, Korea, Singapura, yang tegas terhadap koruptor, serta reformasi institusional yang menjadikan lembaga seperti KPK benar-benar independen. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan sandiwara politik yang penuh dengan intrik, sementara para koruptor terus tertawa di balik layar.


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.