Debat Pilkada DKI Jakarta 2024 memaparkan program-program yang terdengar memukau. Namun, bila dicermati lebih dalam, semua itu hanyalah rangkaian kata-kata manis tanpa langkah yang jelas.
Paslon Rido mengusung Kartu Jakarta Maju. Kedengarannya kerenlah, apa-apa sekarang pakai kartu. Apa lagi menggabungkan semua kartu bantuan dalam satu sistem terintegrasi. Mereka mungkin tak pernah diberitahu oleh tim kampanyenya, bahwa pembagian kartu-kartu ajaib sejak gubernur sebelumnya pun tak teratur dan memicu kengirian di kalangan warga. Database warga Jakarta masih berantakan, kang!
Paslon Dharma-Kun ngebacot soal digitalisasi rantai pasok pangan. Di era digital tentu ide ini terdengar progresif. Buat saya sendiri paslon ini paling membingungkan sih. Dulu bicara seolah anti teknologi tapi sekarang seolah paling tahu soal digitalisasi. Dharma-Kun terlalu terobsesi dengan solusi teknologi tanpa mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan SDM di lapangan. Btw busway, tapi menarik juga membayangkan seperti apa Jakarta apabila paslon ini menang? Hayo siapa yang berani membayangkan?
Paslon Pram-Doel pun tak kalah muluk dengan janji transportasi murah dan pendidikan gratis. Siapa yang tergiur? Tapi mari berpikir jernih sejenak. Di Jakarta ini biaya sekolah swasta mihil banget, Bang Doel! Oke buat SD sampai SMP Negeri gratis. Tapi itu juga bermasalah dengan kebijakan zonasi kemarin. Sudah banyak korban zonasi, termasuk anak gue, hehehe… Lebih tegaslah kalau mau benar-benar memberikan hak dasar ke warga Jakarta. Masih banyak lho di kota ini yang gak bisa sekolah lantaran miskin dan tak masuk sekolah negeri. Siapa yang membela mereka? Gak ada, Bang!
Warga Jakarta sering banget kena “political gimmick“. Sudah saatnya warga Jakarta lebih kritis dalam menilai program yang ditawarkan para kandidat. Jangan mudah terbuai janji-janji manis tanpa mekanisme implementasi yang jelas.
Jakarta butuh pemimpin yang berani mengambil kebijakan struktural, bukan sekadar “sales” politik yang pandai menjual mimpi. Lagu lama, kalau para kandidat cuma berlomba memamerkan program dari kartu sakti hingga digitalisasi. Kenapa? Karena ada sisi gelap Jakarta yang tak satu pun dari berani mereka sentuh. Apa aja?
Kartel Properti: Penguasa Sesungguhnya Gak sih?
Saat para kandidat sibuk membicarakan program perumahan dan pemukiman, tak satu pun berani menyebut kartel properti yang menguasai Jakarta. Developer-developer besar ini bukan sekadar pemain bisnis tapi sesungguhnya “penguasa” yang menentukan wajah ibu kota.
Mengapa tak ada yang berani membahas bagaimana segelintir pengembang menguasai hampir seluruh lahan strategis Jakarta? Mengapa tak ada yang mempertanyakan IMB-IMB yang terus dikeluarkan untuk mall dan apartemen mewah, sementara Ruang Terbuka Hijau (RTH) makin berkurang? Jawabannya sederhana: mereka adalah “untouchable”, terlalu berkuasa untuk diusik.
Banjir: Bukan Salah Sungai, Buos!
Apa sih yang digagas para kandidat soal banjir di Jakata? Paling tak jauh-jauh dari normalisasi dan naturalisasi. Tak ada satupun paslon yang melihat siapa yang membuat Jakarta tenggelam? Basement mall yang merusak aliran air tanah, apartemen yang berdiri di daerah resapan, dan reklamasi yang mengacaukan ekosistem. Semua ini bermuara pada satu hal: keserakahan developer yang sama. Ini juga terjadi di semua daerah penyangga Jakarta.
Tak heran solusi yang ditawarkan selalu superfisial. Bagaimana bisa serius mengatasi banjir kalau tak berani menghentikan pembangunan kartel properti? Bagaimana bisa bicara tata ruang kalau izin masih bisa dibeli? Lagi-lagi yang dimasalahkan banjir kiriman dari Bogor dan kondisi sungai Ciliwung. Kasihan orang Bogor disalahin melulu!
Macet: Tak Berani Nyetop si Komo
Ketiga paslon tak punya solusi yang ajeg untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Ini bukan tanpa sebab. Biaya politik untuk menyentuh masalah ini terlalu mahal. Berisiko kehilangan dukungan pengusaha, ditinggalkan pendukung yang anti kebijakan tidak populis, hingga potensi konflik dengan “preman berizin” yang menguasai parkir. Atau mungkin mereka tak merasakan bagaimana menyiksanya kemacetan di Jakarta karena ke mana-mana dikawal petugas pembobol kemacetan untuk orang kaya.
Premanisme: Tak Tergoyahkan
Sejak era Ahok berakhir, premanisme di Jakarta bangkit kembali dengan lebih garang. Dari Tanah Abang hingga Mangga Dua, dari terminal hingga pasar, tak ada tempat yang bebas dari “pajak jalanan”. Yang lebih mencengangkan, ini bukan rahasia – semua tahu siapa bosnya, siapa backingnya, tapi tak ada yang berani ngeplak kepalanya.
Parkir liar dengan tarif selangit, pungutan di setiap sudut pasar, “uang keamanan” untuk pedagang kaki lima – ini adalah pajak rakyat kecil yang tak pernah masuk kas negara. Ironisnya, para preman ini sering beroperasi dengan mengatas-namakan ormas tertentu.
Mengapa Mereka Bungkam?
Mengapa tak ada kandidat yang berani menyentuh isu-isu ini? Jawaban yang cocok mungkin ada pada pertanyaan berikutnya: siapa yang mendanai kampanye mereka?
Jakarta butuh pemimpin yang berani menentang status quo, yang tidak takut berhadapan dengan kartel properti, yang berani memberantas premanisme dan ormas hingga ke akar, yang punya nyali menertibkan birokrasi. Tapi dari dua kali debat kemarin, yang kita lihat hanyalah politisi yang sibuk menjual mimpi tanpa berani menyentuh masalah sesungguhnya.
Warga Jakarta harus mulai bertanya: untuk siapa sebenarnya para kandidat ini akan bekerja? Untuk rakyat, atau untuk para kartel dan mafia yang selama ini menyandera ibu kota?
Leave a Reply