Di Cirebon, tepatnya di warung nasi depan Masjid Sunan Gunung Jati, aku sarapan pagi. Jam 06:06 di mejaku telah tersaji teh manis dengan gula batu. Sebelumnya aku mengira akan mendapatkan teh manis dengan gula pasir biasa, tapi setelah melihat bongkahan kristal di dalam gelas tehku, ternyata gula batulah yang membuat teh itu menjadi lebih nikmat.
Gula batu nge-match dicampur dengan teh kental yang amat terasa pahitnya. Rasa manis yang tidak berlebihan membuat teh panas itu menjadi lebih nikmat. Memang, menurut beberapa orang, gula batu bersifat dingin jika dibandingkan dengan gula pasir. Walaupun sebenarnya gula batu dibuat dari gula pasir yang dimasak, dicairkan, kemudian dikeringkan kembali hingga membentuk bongkahan kristal. Cirebon adalah salah satu daerah penghasil gula batu, selain probolinggo.
Menurut si mbok warung nasi, gula batu lebih cepat mendinginkan teh manis panas ketimbang gula pasir biasa. Selain itu – masih menurutnya – gula batu lebih bermanfaat buat meringankan panas dalam. Entah benar atau tidak, yang kutahu, banyak tabib/shin she yang menyarankan pasiennya mencampur ramuan obatnya dengan gula batu, bukan gula pasir biasa. Namun tak kutemui penjelasan yang pasti tentang pengaruhnya.
Sebagai penikmat teh manis, aku merasakan kenikmatan yang lebih terasa dalam teh manis bergula batu ini. Menurut temanku, orang Jawa totok terbiasa menyajikan teh manis dengan gula batu. Untuk melihat kualitas gula batu, kita bisa mengangkat potongan gula tersebut dari dalam teh manis panas. Jika warnanya menguning, bisa dipastikan bahwa itu adalah gula batu berkualitas, ketimbang yang berwarna tetap putih.
Leave a Reply