Seperti keramaian dan aktivitas online lain yang bergerak sejak jelang reformasi di Republik ini, Amang adalah salah satu pemicunya. Begitu pun perkara makan gudeg di Manggarai. Ia yang memicunya lewat Twitter. Buktinya adalah sebuah cuitan yang orang awam sepertiku pun tahu kalau itu adalah ajakan. Provokasi, kalau kata Aparat Penegak Hukum.
Tetapi apa artinya membahas siapa di balik suatu perkara. Di Republik ini, pembahasan tentang siapa memanfaatkan siapa atau siapa disetir siapa, “sudah tidak umum lagi”. Negeri ini sudah terbiasa diombang-ambingkan dengan isu yang tak pernah sampai ke muara apa lagi ke hulu. Kita terbiasa dihanyutkan oleh gelungan ombak yang tak pernah sampai ke pantainya.
Gue mau bahas gudeg deh rencananya.
Singkat cerita, Amang yang baik hati dan gampang memaafkan meskipun temannya mengkhianati, menjemput dan memboncengku. Padahal siang itu hujan lumayan deras –meskipun tak sederas kemarahan yang melandaku seminggu ini–, tetapi kami tetap mengendarai motor menuju Gudeg Ibu Sudji yang legendaris. Sejak tahun 70-an Ibu Sudji bertahan hingga kini, menjual nasi gudeg di bilangan Manggarai. Soal konsistensi memberi makan rakyat, sepertinya Jokowi, Ahok, dan seluruh pemimpin di Indonesia patut belajar dari pedagang makanan macam Ibu Sudji ini.
Pertama kali aku ke Gudeg Ibu Sudji adalah sekitar 1992. Saat itu aku pulang camping dari Curug Luhur, Bogor. Menemukan lokasi gudeg tersebut pun kebetulan saja di saat lapar. Bukan direncanakan seperti yang sekarang aku dan Amang lakukan.
Lokasi Gudeg Ibu Sudji percis di seberang Terminal Bus Manggarai dan berdempetan dengan Indomart. Di depan warung gudeg itu ada lapak koran. Tulisan Gudeg Ibu Sudji cukup kelihatan, meskipun bagi yang belum pernah ke sini, mungkin harus telaten mengamati lokasi. Kalau dari terowongan Rel Kereta Manggarai, lurus saja ke jalan Dr. Saharjo. Setelah Soto Bogor dan bangunan lainnya, pasti akan ketemu warung Gudeg Ibu Sudji.
Alhamdulillah ibu Sudji masih terlihat sehat. Saat aku dan Amang menyantap gudegan dan menu lainnya, ibu yang kini hanya membantu melayani sekitar pagi hari saja itu asyik memerhatikan anak-anaknya melayani pelanggan.
Gudeg Ibu Sudji berpenampilan kering. Kupesan dengan lumuran opor ayam, krecek, dan perkedel. Amang melengkapi menu kami dengan Buntil dan Paru Goreng. Menu baceman lainnya tersedia. Ada tempe dan tahu bacem yg biasanya jam 8 malam sudah tak tersisa. Pada jam tersebut biasanya warung Gudeg Ibu Sudji tutup dan melayani pelanggan lagi mulai jam 8 pagi.
Bagaimana soal rasa gudegnya? Aku bukan orang yang tepat untuk mengulas rasa makanan di blog. Tunggu saja hingga Banyumurti makan di Gudeg Ibu Sudji. Soalnya query “gudeg ibu sudji” dan “manggarai” belum ada di blog yang banyak mengulas aneka masakan nusantara ini. Sepertinya Amang perlu membujuk Banyumurti untuk makan siang di Gudeg Ibu Sudji.
Terima kasih mas Amang yang sudi foto dirinya kupamerkan di blog ini. Terima kasih juga ngajak makan di Gudeg Ibu Sudji.
Leave a Reply