Forum POV Rakyat

Ternyata mengatur internet itu tidak semudah meng-update status di media sosial. Kemarin saya menghadiri sebuah acara yang diselenggarakan SAFEnet bersama PSHK Indonesia. Judulnya cukup menarik: “Forum Dengar Rakyat: Ciptakan Ruang Aman, Reformasi Pengaturan Digital”. Ini adalah forum di mana rakyat mestinya bicara tentang bagaimana menciptakan ruang aman di internet. Namun kayaknya, aman menurut rakyat biasanya beda kalau pakai POV pemerintah.

Sambil menyeruput kopi, saya menyimak paparan Sinta dari SAFEnet dan Viola dari PSHK. Mereka melakukan riset mendalam tentang tata kelola internet di Indonesia. Temuannya cukup mengejutkan: ternyata, regulasi internet kita lebih banyak bicara soal “keamanan dan proteksi” (54,4%) ketimbang “kebebasan berekspresi” (28,1%). Sisanya? Hanya membahas akses internet (17,5%).

Yang membuat saya terperangah, “keamanan” yang dimaksud rupanya lebih condong ke keamanan negara, bukan keamanan kita sebagai pengguna internet. Nah, kan selalu beda POV antara pemerintah sama rakyatnya. Ini terjadi di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya, rakyat ingin aman berekspresi melalui internet tanpa ada ancaman doxing dan risiko keamanan lainnya, tapi ekspresi rakyat itu kadang dianggap sebagai ancaman buat keamanan dan kedaulatan negara.

Menurut Viola, dari 10 undang-undang yang mereka teliti, sebagian besar justru membuat ruang digital kita semakin sempit. Contoh paling nyata? Tentu saja UU ITE yang jadi momok bagi para netizen. Belum lagi UU Pornografi yang terkadang jadi alasan untuk memblokir situs secara sembarangan.

Yang lebih mengkhawatirkan, banyak undang-undang kita yang sudah ketinggalan zaman! Bayangkan saja, di era TikTok dan Instagram Reels ini, kita masih menggunakan UU dari zaman Facebook baru booming. Bagaimana mungkin bisa mengikuti perkembangan zaman?

Nah, di sinilah SAFEnet dan PSHK berusaha membuat semacam “resep” untuk menciptakan regulasi internet yang ideal. Mereka menginginkan internet yang aman, adil, dan inklusif untuk semua orang. Bukan hanya untuk mereka yang punya uang atau koneksi.

Diskusi juga membahas isu tentang ujaran kebencian di internet. Mbak Ika dari Monash University membagikan data menarik. Ternyata dari 1,5 juta postingan yang diteliti selama Pilpres kemarin, hanya 13% yang bisa dikategorikan sebagai ujaran kebencian sungguhan. Sisanya? Mungkin hanya luapan emosi sesaat yang kurang bijak.

Yang menarik, masih banyak orang yang kesulitan membedakan antara kritik dan ujaran kebencian. Mbak Gema dari LBH Pers memberikan pencerahan, secerah kebahagiaanku melihat anak-anak muda yang kini mengelola SAFEnet. Menurutnya mengkritik kebijakan pejabat bukan termasuk ujaran kebencian, melainkan bentuk kritik. Yang berbahaya adalah jika sudah menyerang SARA atau kelompok rentan. Nah, ini sering terjadi karena kebiasaan pejabat kita itu ketika menerima kritik, selalu gagal paham. Bukannya menangkap kritiknya, malah nangkap orangnya. Gobloknya kelamaan.

Sambil mengunyah Bika Ambon, ada juga diskusi tentang bagaimana membuat platform media sosial lebih bertanggung jawab. Masalahnya, banyak platform yang berkelit, mengklaim diri hanya sebagai “perantara”. Padahal jika dipikirkan lebih dalam, mereka juga punya tanggung jawab untuk memastikan konten yang beredar tidak berbahaya.

Bicara soal tanggung jawab, mbak Ika menyampaikan tentang UU Keterbukaan Informasi Publik. Ia berpendapat, seharusnya UU ini bisa menjadi alat bagi masyarakat untuk menuntut transparansi dari pemerintah. Sayangnya, sepertinya masih banyak yang belum paham cara memanfaatkannya.

Kesimpulannya, dari diskusi kemarin saya menyadari bahwa membuat regulasi internet yang ideal itu tidak semudah main ludo. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Tapi seperti kata pepatah, seribu mil dimulai dari satu langkah. Masa iya kita mau terus hidup di dunia maya dengan aturan yang koplak?

Semoga hasil riset SAFEnet dan PSHK ini bisa menjadi dorongan bagi pemerintah untuk segera berbenah. Kalau tidak? Ya, masyarakat sipil akan terus membantu dengan menyampaikan riset-riset dan kritik. Tapi ingat, jangan dianggap mengancam keamanan dong boss!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *