Di Skow Batas Negara Bukan Batas Keluarga

Meskipun terpisah di dua negara, Indonesia dan Papua Nugini (PNG), masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan tetap boleh melintas setiap hari untuk meladang maupun mengunjungi keluarga di tanah ulayat.

Saat memasuki pos imigrasi di Skow, tempat di mana pos lintas batas negara (PLBN Indonesia-Papua Nugini) aku terpaku pada 2 lajur antrean pengunjung. Ada lajur internasional dan lajur tradisional. Apa bedanya?

Pak Marsel, Petugas Imigrasi di Skow menjelaskan, lajur internasional untuk mereka yang masuk maupun keluar dengan paspor seperti biasa sedangkan lajur tradisional khusus untuk warga kedua negara yang masih memiliki ikatan keluarga maupun tanah ulayat di kedua negara. Mereka tidak memiliki paspor namun memiliki Kartu Lintas Batas.

Meskipun terpisah oleh batas negara namun kesepakatan kedua negara tetap memberikan keleluasaan bagi warga untuk beraktivitas melintas batas. Ada di antara mereka yang mengolah ladang, mengunjungi keluarga, maupun jual-beli. Untuk jual-beli ini ternyata ada hari-hari pasar di Skow. Banyak warga negara PNG yang senang berbelanja -khususnya pakaian- di Skow. Hari pasar bisa terjadi 2-3 kali dalam seminggu. Ini merupakan peluang yang baik bagi warga dalam aktivitas ekonomi. Kamu yang mau jualan penthol di hari pasar silakan saja. Yang penting kamu bisa berkomunikasi sama orang PNG. Mereka biasanya memakai 3 bahasa: Bahasa adat, Bahasa Indonesia seadanya, dan Bahasa Inggris Fiji.

Aku beruntung sekali bisa datang ke Skow. Tuhan mengutus bang Gustaf Griapon, Kadiskominfo Kabupaten Jayapura untuk membawaku ke sini. Ia menjemputku di Sentani dan meluncur dalam waktu sekira 1 jam.

Kalau kamu mau ke PLBN Skow, dari arah Bandara Sentani sebaiknya pakai mobil saja. Terserah mobilnya mau sewa, charter atau mau ambil dulu di dealer ;P

Ambil jalur ke Jembatan Hamadi-Holtekamp. Warga lokal biasa menyebutnya jembatan merah atau ada juga yang menyebutnya jembatan youtefa. Dari situ tinggal ikuti jalan menuju Skow.

Kondisi jalan menuju ke Skow mulus terurus. Tidak ada sedikitpun yang rusak. Paling yang rusak beberapa masyarakat yang tanahnya dikuasai Tambang.

“Jalan yang mulus ini sudah sejak zaman Presiden SBY” terang bang Gustaf yang selalu Griapon dalam perbincangan sepanjang perjalanan. SBY banyak juga melakukan hal baik di Papua namun sepertinya tim publikasinya tidak segencar  Presiden Jokowi. Bisa jadi, Monumen 2 Negara yang ada di perbatasan Skow pun ditandatangani oleh SBY. Aku baru ngeh juga.

Pemandangan sepanjang perjalanan pun indah surendah wasaindah. Hamparan pantai, rimbunan hutan, jembatan, muara, dan tentunya keramahan warga Papua yang sangat-sangat rendah hati saat berpapasan. Aku sempat berpapasan dengan seorang pace yang sedang menyiapkan tombak buat mancing ikan. Ia menyapaku dengan senyum yang bikin hati ini bahagia. Itu cuma berpapasan. Akan lebih terasa keramahannya saat kita berbincang.

Jam berapa sebaiknya menuju Skow? Sebaiknya sih pagi agar bisa melihat kesibukan apa yang ada di area perbatasan. Setidaknya jangan sampai ke lokasi lewat jam 4 sore sebab gerbang perbatasan kedua negara sama-sama ditutup. Kalau belum ditutup, kamu bisa menginjakkan kaki ke luar negeri, ke negara pasifik Papua Nugini.

Bersyukur aku bisa hadir di Skow dan mendapatkan kisah kehidupan warga dan petugas di sini. Satu hal yang kudapat, negara bisa dibatasi dengan batas negara, namun keluarga, adat, ulayat, persahabatan,  pertemanan, dan cinta tak bisa dibatasi. Sebab itu negara memberi keleluasaan bagi warga yang terikat dengan tanah ulayat dan keluarga untuk tetap hidup damai dan bahagia meskipun terpisah dalam batas negara.


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.