Demokrasi Sesaji Oligarki

Pemilihan Umum (PEMILU) 2024 sudah selesai pemilihan suaranya. Saat ini para pemangsa kekuasaan masih sibuk mengikuti proses pengadilan sengketa. Bagi kita rakyat jelata, PEMILU mestinya sudah selesai. Sudah tidak perlu lagi saling menjagokan maupun menjatuhkan capres/cawapres. Biarkan persengketaan hanya terjadi di kalangan politikus saja. Bagaimanapun hasil sidang sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) tak akan mengubah kualitas demokrasi kita.

Mereka yang berebut kekuasaan kerap mengatasnamakan demokrasi. Orkestrasi isu yang dibuat baik oleh rezim maupun oleh kelompok politik yang mengincar kemenangan sama-sama mengatasnamakan demokrasi. Bahkan praktik politik uang, politik minyak goreng, dan politik sembako juga dimaklumi sebagai bagian dari proses demokrasi.

Praktik pindah-pindah partai politik juga termasuk demokrasi. Jegal-menjegal saingan di level calon presiden maupun level calon anggota dewan juga dimaklumi sebagai bagian demokrasi. Baik jegal saat kampanye, melalui platform digital (media sosial dan broadcast message) maupun penjegalan lewat platform mistik. Semuanya merasa sedang melakukan proses demokrasi.

Apa sih demokrasi? Gak usah ribet-ribet cari literatur deh. Yang simpel aja, demokrasi atau kerakyatan adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Karena tidak mungkin seluruh rakyat berkumpul di gedung atau stadion, maka disepakatilah perwakilan rakyat. Merekalah yang menjadi penyambung lidah rakyat yang berdaulat. Namun itu cuma teori. Kenyataannya, rakyat sama sekali tak berdaulat. Para wakil rakyat juga tak sungguh-sungguh mewakili rakyat. Mereka menjadi anggota dewan karena didorong oleh pencapaian pribadi dan beberapa demi partai politik di mana mereka mengais rezeki. Kedaulatan rakyat?

Lupakan! Kalian tak akan pernah merasakannya di negara yang sipilnya sok militer dan militernya jadi beking sipil. Kedaulatan rakyat hanya jadi teori busuk di negara yang pemegang kekuasaannya tunduk pada oligarki. Kedaulatan rakyat hanya khayalan di negara yang politikusnya tak punya visi dan sikap untuk mempertahankan sikap politiknya yang sehabis berseteru saat pemilu, tetap bisa kongkalikong berbagi kekuasaan dalam genggaman penguasa baru.

Banyak cerita yang membuat aku yakin bahwa demokrasi di negara ini tak pernah benar-benar ada. Bagaimana mungkin demokrasi akan terwujud jika para politikus banyak yang bersikap layaknya penjilat. Membenci sikap A di satu momen, lalu mendukung sepenuhnya sikap A di momen berbeda. Belum lagi politikus yang menutupi kepengecutannya dengan alasan demi bangsa. Dengan alasan demi persatuan dan kesatuan bangsa, mereka yang berseteru akhirnya bersatu dalam satu koalisi kekuasaan demi mematikan potensi oposisi. Bagaimana bisa mengaku demokrasi jika para politikusnya takut beroposisi?

Sumpah, negara ini sedang mengalami demokrasi yang sekarat. Demokrasi yang tidak sehat. Demokrasi yang dimanipulasi demi kelanggengan oligarki. Apakah mungkin demokrasi kita disembuhkan? Apakah mungkin demokrasi kita kembali ke jalan yang benar?

Tenang. Masih ada para aktivis dan netizen yang bersuara. Hah? Aktivis? Netizen? Yakin mereka bisa mengembalikan demokrasi ke jalan yang benar? Coba lihat para aktivis senior yang menjadi politikus. Masihkah kalian percaya sama mereka? Masihkah kalian ragu bahwa mereka turut berjasa membuat demokrasi kita kehilangan nyawa?

Masih ada netizen! Iya, jika ini adalah satu-satunya kekuatan rakyat –people power–, mungkin penghalangnya adalah pasal-pasal karet dalam undang-undang yang membungkam dan mengancam suara kritis. Tak usah mundur terlalu jauh. Pemenjaraan Daniel, aktivis lingkungan Karimun Jawa adalah satu contoh dari ratusan fakta tentang pembungkaman suara rakyat yang tak pernah benar-benar didukung oleh partai politik. Apakah netizen harus menunggu ratusan Daniel lagi untuk bergerak mengobati demokrasi yang sekarat?

Apa yang ditakuti netizen selain pasal karet? Buzzer? Cepu? Sipil yang sok militer? Militer yang mau nyipil? Ah, sepertinya kita memang harus mengikhlaskan kematian demokrasi. Kita harus sadar bahwa di negara ini demokrasi bahkan tak jelas dimakamkan di mana. Mungkin sama seperti mereka yang disemen dan ditenggelamkan seperti di film fiksi, atau dijadikan debu dan disebar sebagai sesaji oligarki.


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.