Coba bayangin deh, kamu lagi shalat tahajut atau meditasi menenangkan diri karena mau daftar CPNS, eh tau-tau namamu nyangkut jadi anggota parpol. Gagal deh jadi pengabdi negara! Padahal Saya percaya demi Tuhan, kamu nggak pernah daftar jadi anggota partai mana pun. Gimana nggak dongkol coba?
Itu kejadian salah satunya menimpa sahabat saya, di Aceh, yang punya blog hikayatbanda.com. Yudi mau jadi CPNS? Nggak, saat itu kalau nggak salah dia mau antre pembagian sempak 😛
Nah, kejadian kayak gini tuh ternyata udah jadi fenomena gunung es di negeri +62 ini, bro. Bukan cuma soal CPNS, tapi juga buat yang mau daftar jadi petugas pemilu, dari PPK, PPS, sampe KPPS. Banyak yang kena getahnya gara-gara NIK mereka dicatut sama parpol buat memenuhi syarat jadi peserta pemilu. Ternyata bukan cuma Yudi yang mengalami. Banyak banget warga negara kita yang dicatut namanya sama partai politik bengak.
Kemarin saya ikutan diskusi publik yang digelar ELSAM soal implementasi kepatuhan perlindungan data pribadi dalam penyelenggaraan pemilu. Pembabar pemikirannya keren-keren banget. Ada peneliti Elsam, mas Parasurama Pamungkas, Mbak Titi Anggraini yang kredibel banget kalau ngomongin PEMILU/PILKADA, ada akademisi dari Binus University mbak Siti Yuniarti yang biasa disapa Sisi yang duduknya pas di sisi paling kiri dari arah pandang audiens.
Banyak banget insight menarik yang bikin saya mikir, “Buset dah, ternyata rumit amat ya urusan data pribadi dalam konteks pemilu ini.” Sayangnya, narsum dari Kominfo dan BAWASLU nggak hadir. Padahal kalau mereka hadir, saya yakin diskusi dan pencerahan akan semakin terang benderang. Yeach, mungkin mereka sedang sibuk urusan negara yang bikin mereka tak sempat hadir dalam urusan rakyat.
Jadi bro, partai politik di Indonesia itu punya syarat yang berat banget buat jadi peserta pemilu. Mereka harus punya minimal 1000 anggota atau satu per seribu dari jumlah penduduk di suatu kabupaten/kota di 75% kabupaten/kota seluruh Indonesia. Nah, karena syaratnya berat, jadinya ada aja partai yang main catut NIK orang buat memenuhi syarat itu. Biasa, otak orang-orang parpol kan rata-rata minim ya. Jadi mereka selalu cari jalan pintas buat mencapai syarat tersebut. Hal ini bahkan juga terjadi di kalangan calon aleg di DPR/DPRD bahkan cagub, cabup, cawal, maupun cawat. Mungkin mereka mikir, mencatut beda dengan mencuri. Ya, begitulah orang-orang politik, menghalalkan segala cara demi bisa menghalalkan ani-ani mencapai tujuannya.
Yang bikin miris, KPU sebagai penyelenggara pemilu kayaknya juga nggak bisa berbuat banyak. Orang KPU cuma bisa bilang, “Ya kita kan cuma nerima data dari parpol. Kalau datanya nggak bener, ya kita kasih tau ke parpolnya. Tergantung parpolnya.” Setdah! Untung kesadaran warga negara kita beda sama pendukung timnas. Kalau sama, nasibnya bisa sama tuh kayak Ahmed Al Kaf, Wasit asal Oman yang dipandang otaknya segleg saat memimpin laga Bahrain-Indonesia dengan skor 2-2.
Lah, terus nasib warga yang kena catut gimana dong? Masa suruh berurusan sendiri sama parpol? Apalagi kalau parpolnya nggak lolos jadi peserta pemilu, makin susah dong ngurusnya. Mungkin pejabat KPU cuma bergumam, #egp #kemudianhening
Terus Gimana Dong?
Jujurly wasaily, saya rada ngantuk menyimak 3 narsum presentasi karena habis ronda, tapi karena isu pelindungan data pribadi ini penting, makanya saya bela-belain melek.
Kenapa dibela-belain? Karena saya sadar banget UU Pelindungan Data Pribadi (PDP) ini Crouching Tiger, Hidden Dragon banget (krusial) banget. Tapi sayang, UU PDP yang udah disahkan September 2022 lalu belum bisa diimplementasikan sepenuhnya. Why?
Karena peraturan turunannya belum ada, bro. Lembaga pengawasnya juga belum dibentuk. Nah lho, dagelan apa lagi nih yang terjadi di negara ini? Lu bikin undang-undang, lu gak siap bikin turunan, bahkan rebutan lembaga pengawasnya gue yakin cuma mempertimbangkan proyek, bukan subtansi PDP itu sendiri. Dasar negara sinetron! Lu dah kayak episode pasangan yang ngebet kawin tapi gak siap punya keturunan dan gak siap punya mertua.
Padahal, tanggal 17 Oktober 2024 nanti, semua penyelenggara pemilu dan parpol harus udah patuh sama UU PDP. Tapi gimana mau patuh kalau aturan mainnya aja belum jelas? Tenang, paling stafnya bilang, “Gampang pak, kita pakai ChatGPT aja. Namanya juga transformasi digital, pak!” Njirr banget kalo emang imajinasi saya ini kejadian.
Satu lagi yang bikin tambah gak genah, ternyata ada konflik norma antara UU Pemilu, UU Adminduk, dan UU PDP. Contohnya, soal usia pemilih. UU Pemilu bilang 17 tahun udah bisa milih, UU PDP bilang anak di bawah 18 tahun harus ada persetujuan ortu. Terus yang dipakai yang mana nih?
Capek baca? Minum dulu!
Nah, di tengah situasi yang bikin pusing kayak gini, untungnya masih ada orang-orang pinter yang ngasih usulan-usulan menarik. Salah satunya, KPU disaranin buat bikin semacam pedoman internal soal perlindungan data pribadi. Kayak gitu tuh udah dilakuin sama Election Commission UK, jadi kita bisa contek-contek dikit lah ya. Terus, ada juga yang ngusulin buat nyederhana-in syarat parpol sama calon independen. Logikanya sih, kalau syaratnya nggak terlalu ribet, kemungkinan ada yang main catut-catutan NIK bakal berkurang. Walaupun menurut saya, main catut itu bawaan puser sih. Mau syaratnya gampang atau tidak, kalau udah biasa nyatut ya, perlu perjuangan keras buat nahan diri nggak mencatut lagi.
Tapi yang paling bikin saya setuju sih usulan buat kasih sanksi tegas ke parpol yang ketahuan mencatut NIK warga. Misalnya nih ya, kalau ketahuan main catut di satu dapil, ya udah nggak boleh ikutan pemilu di dapil itu. Biar pada kapok! Selain itu, peran Bawaslu juga perlu dioptimalkan buat menyelesaikan masalah pencatutan NIK ini. Jangan cuma bacot doang deh. Lagu lama!
Yang nggak kalah penting, masyarakat juga perlu dikasih tau cara ngecek apakah data mereka dicatut atau nggak. Soalnya percuma kan ada sistem canggih kalau yang punya data aja nggak tau cara pakainya. Ini relate sama postingan saya berjudul Digital Transformasi Awkward. Intinya sih, kita sebagai warga negara jangan sampai pasrah kalau data pribadi kita dicatut. Harus speak up dan berani lapor, entah ke KPU, Bawaslu, atau bahkan media. Jangan sampai hak politik kita terampas cuma gara-gara ada oknum goblok yang main catut NIK. Mending kalau cuma buat memenuhi syarat nyalon, kalau dipakai buat apply pinjol? Berprasangka buruk sama politisi itu nggak dosa kok. Udah terlalu banyak fakta kalau mereka sering menipu konstituennya.
Dan buat manteman yang pada yang mau nyaleg atau nyapres, inget ya: jangan main catut NIK orang. Selain nggak etis, itu juga bisa bikin klen kena pidana loh. Mending fokus aja bikin program yang oke buat rakyat. Lagian, kalau emang program klen bagus, ngapain juga pake acara catut-catutan segala? Mending nyeduh teh Catut! (ini testimoni)
Yaudah, segitu dulu sharing saya. Semoga kita semua makin aware sama pentingnya pelindungan data pribadi, terutama dalam konteks pemilu. Jangan lupa selalu cek data kamu di web KPU ya, siapa tau ada yang main catut. Eh siapa tau kamu jadi menterinya Prabowo, hehehe… Ingat, data pribadi kamu tuh berharga. Jangan sampe diembat orang buat kepentingan politik doang. Oke, bro? Stay safe, stay cool, stay aware, stairway to Heaven #eh
Apa yang saya tulis diambil dari pernyataan maupun presentasi para narsum. rekaman diskusinya lengkap bisa ditonton di sini:
Leave a Reply