Cerita di Angkot

Sebagai penumpang aku lebih sering menyebutnya angkot ketimbang nama resminya, yaitu mikrotrans jaklingko.

Di angkot ini ada kesepakatan tak tertulis. Yang duduk di dekat alat tap kartu, sekaligus menjadi “petugas” penempel kartu ke alat tersebut. Pernah ada anak muda yang menolak ketitipan kartu penumpang lainnya, akhirnya sudah bisa ditebak dong, anak muda itu jadi sasaran omelan buibu. Dapatlah ia rentetan nasihat akibat sikapnya yang tak tau “adat”.

Drama di angkot memang ada-ada saja. Kadang relevan dengan situasi politik dan budaya, kadang absurd.

Pernah kusaksukan, saat angkot full ada bapak² yg mau naik juga. hanya tersisa seat prioritas di depan, sebelah sopir. ia pun dipersilakan duduk di depan.

angkot berhenti. penumpang bagian belakang turun kecuali aku dan anak esde namun penumpang baru juga naik. sekelompok ibu-ibu. angkot hampir full. berangkat.

tiba-tiba seorang ibu selang dua buibu lainnya di jejeranku ngoceh, “sopirnye pegimane sih. itu yg muda dikasih duduk di depan. lha kite orang² tua di belakangin. kite nih tulange udah pade pengapuran!”

pak sopir menjelaskan kenapa bapak² duduk di sebelahnya, lantaran saat dia mau naik, angkotnya full. ia terlihat sabar menjawab balasan ibu tua yg penuh amarah. banyak ucapan ibu tua itu yang menurutku gak pantas di dengar, apalagi ada anak esde.

“sudahlah, bu. diam saja. kalau diperpanjang nanti yang disalahkan pasti saya, sopir. penumpang selalu benar.” kalimat pasrah sang sopir.

ibu itu diam tapi masih terdengar pelan gerundelannya. seakan tak terima kalah debat. aku tak tahan ketawa juga. buibu di sebelahku menatap sinis. untung angkot sudah sampai di halte yang kutuju.


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.