Seorang teman curhat. Pikirannya terbebani oleh sebaran kebencian di grup chat keluarganya. Setiap ada kabar baru berisi pelintiran kebencian terhadap pemerintah, presiden, dan tokoh lain yang dianggap pembenci agama, temanku ini kerap mencari bukti tandingan dengan maksud agar pamannya sadar bahwa kabar yang ia sebarkan tidak cukup bukti bahkan sering terkesan mengada-ada. Tetapi tetap saja pandangan temanku tak digubris. Ia kewalahan, padahal pamannya itu aktif banget di pengajian, rajin beribadah, dan selalu memuji Nabi Muhammad SAW dengan keempat sifatnya; Shidiq, Amanah, Tabligh, Fathanah. Akan tetapi kenapa perilaku sang paman malah bertolak belakang dengan keempat sifat Nabi, yang menurutnya bisa dijadikan perisai untuk mengamankan diri dari pelintiran kebencian yang kerap menular.
Shidiq berarti benar. Bukan hanya perkataan namun juga perbuatan. Amanah, artinya bisa dipercaya. Sudah tentu kalau orang yang bisa dipercaya hanya akan menyampaikan kabar yang juga terpercaya, bukan kabar yang masih belum jelas kebenarannya. Tabligh, berarti menyampaikan kebenaran dan kedamaian, bukan menyampaikan segala kabar yang mengandung keburukan dan kebencian. Yang terakhir adalah Fathanah, yaitu cerdas baik dalam memahami pesan yang disampaikan maupun memahami resiko dan respon masyarakat atas apa yang ia sampaikan. Bukannya bersikap masa bodoh atas apa yang sudah ia sebarkan.
Di sinilah persoalannya. Antara temanku dan pamannya memiliki sikap dan perspektif yang berbeda. Aku yakin pamannya lebih paham soal arti dari keempat sifat Nabi yang dijadikan sebagai penyadar oleh temanku.Temanku menganggap apa yang disebarkan oleh pamannya adalah hoax sebab hanya berdasarkan prasangka dan bukan fakta dan data yang terbukti kebenarannya. Tetapi pamannya menganggap itu bukan hoax, melainkan kebenaran yang sudah tentu akan dibantah oleh orang-orang yang dianggapnya tak memahami kebenaran. Temanku menganggap sebaran informasi yang disampaikan pamannya merupakan kebencian dan menyulut konflik SARA. Tetapi pamannya menganggap itu adalah upaya yang sah dalam melawan penguasa yang dzalim dan membenci agamanya, dan itu dilakukan demi kemaslahatan NKRI harga mati.
Begitulah, sepertinya pemahaman dan kecerdasan yang tak segaris tak akan bisa bertemu dalam titik saling memahami. Kasihan temanku, padahal ia bukan bagian dari kelompok yang kerap berperangkata dengan kelompok pamannya. Padahal ia berusaha berposisi netral dan hanya menjunjung tinggi obyektifitas penyampaian kabar, anti hoaxtivisme, tapi tetap saja dianggap ngeyel, bebal, dan tidak mendukung jihad. Hingga pagi tadi, temanku curhat dan merasa otaknya makin soak karena permasalahan tersebut.
***
Menurutku, temanku maupun pamannya sama-sama sebagai masyarakat yang diombang-ambingkan dalam drama pelintiran kebencian yang menguasai negeri ini. Paling tidak, drama pelintiran kebencian ini mulai disadari secara publik pada tahun 2012 saat Pilkada DKI Jakarta berlangsung. Temanku dan pamannya merupakan contoh masyarakat yang terbelah dalam perkubuan yang sengaja diciptakan oleh makelar politik. Kita memang tak bisa menghindar dari keterbelahan itu. Kita diam saja pun akan dituduh sebagai kubu berbeda oleh pejuang dari kedua kubu.
Aku pernah menuliskan hal serupa dalam tulisan Ekspresi Kebencian, tentang sebuah grup chat yang muram. Bahkan sampai ada banyak orang yang memilih bunuh diri akun media sosialnya. Kutulis di Break off Medsos.
Ya, hingga sepanjang tahun 2017 ini kita seringkali menemukan keriuhan, saling kecam, saling membodohkan, dan saling menghujat di antara kubu yang berebut kekuasaan. Masing-masing kadang sama saja, sama-sama melakukan pelintiran kebencian.
Badewey busway, kenapa aku menyebut pelintiran kebencian? Sebab yang mereka pelintir sebenarnya bukan bagaimana mengubah kabar yang benar menjadi salah. Yang mereka lakukan adalah bagaimana mengemas kebencian dengan berbagai cara, memelintir kebencian mereka dengan baluran kabar yang seolah-olah benar. Bahkan dengan dalil-dalil agama.
Bukankah mestinya agama membuat orang lebih bermoral, lebih menjaga diri sendiri dari jebakan kekuasaan. Bukankah agama semestinya membuat orang tak gampang mengumbarkan kemarahan dan kebencian? Apakah ini merupakan indikasi kesenjangan antara religiusitas dengan moralitas? Apakah ini terjadi karena penganut agama merasa hanya diri mereka saja yang benar dan orang lain selalu salah dan patut dihakimi? Untuk menjawab hal ini, menarik membandingkan kondisi Indonesia dengan apa yang terjadi di Turki. Artikel Does Religion Make People Moral yang ditulis Mustafa Akyol The Newyork Times, patut dibaca.
“Mentalitas “kita vs. mereka” semacam ini dapat merusak dan meradikalisasi komunitas religius – orang Kristen, Muslim, Hindu dan Budha sama-sama dapat menjadi militan yang penuh kebencian ketika mereka melihat diri mereka sebagai korban yang benar. Kecenderungan itu terlihat di mana-mana dari para biksu Buddha yang menyemangati pembersihan etnis di Myanmar kepada mayoritas Hindu yang mendominasi politik India ke ekstremis Muslim yang keras di Timur Tengah.” – Mustafa Akyol.
Cherian George dalam bukunya, Pelintiran Kebencian Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi, mendefinisikan pelintiran kebencian sebagai penghinaan dan ketersinggungan yang sengaja diciptakan, dan digunakan sebagai strategi politik yang mengeksploitasi identitas kelompok guna memobilisasi pendukung dan menekan lawan.
Dalam buku yang diterbitkan pada 2016 itu, Cherian George memaparkan temuannya. Ada banyak agen kebencian yang secara lihai memainkan hasutan dan keterhasutan, bahkan seringkali secara bersamaan. Kata “spin” (pelintiran) mengilustrasikan kesewenang-wenangan kampanye mereka. Pelintiran kebencian adalah propaganda yang terkalkulasi dan menipu.
“Kamera media fokus menggambarkan orang-orang yang mencak-mencak terhadap buku, film, rumah ibadah, dan orang-orang yang tidak bisa mereka terima. Kemarahan mereka yang memikat kamera itu mungkin tidak seluruhnya dibuat-buat. Akan tetapi, seperti yang akan kita telusuri di bagian selanjutnya, dalam hampir semua aksi massa yang besar dan berkelanjutan, agitasinya tidak spontan dan dapat dielakkan. Galilah sedikit permukaannya, dan kita akan menemukan tukang pelintir yang menggerakkan aksi-aksi tersebut. Mereka adalah wirausahawan politik yang memanipulasi emosi-emosi terdalam masyarakat, namun mereka sendiri secara dingin mengkalkulasi penggunaan teknik-teknik persuasi, dari retorika biasa hingga fitur terbaru dalam media sosial. Agen pelintiran kebencian ini biasanya adalah bagian dari kelompok elite – pemimpin organisasi politik atau agama, atau bahkan pejabat pemerintahan – yang diuntungkan dengan menyamarkan upaya mereka mencari kekuasaan di balik kedok sentimen populer berbasis agama. Ketika para oportunis ini berhasil, mereka dapat melepaskan kekuatan politik yang jauh lebih mengintimidasi sekaligus menggiurkan daripada kampanye hubungan masyarakat biasa.” – Cherian George, pada bukunya, halaman 5.
Ini bukan sekadar logika yang somplak, tapi juga soal algoritma yang membuat orang makin tertutup karena memiliki kebenaran kelompoknya sendiri.
“Bila sudah seperti ini, orang-orang akan cenderung menutup diri dari fakta lain. Tidak peduli mereka memiliki pendidikan tinggi, memiliki gelar bagus atau jabatan, mereka hanya peduli kebenaran yang selama ini sudah disodorkan algoritma kepadanya sehingga tidak aneh bila kita lihat orang-orang terpelajar ikut demonstrasi karena suatu isu yang pemicunya tidak jelas, namun kemudian dibelokkan oleh algoritma agar sesuai selera mereka.” – Sociogeeks, dalam artikel Ketika Hidup di Zaman Algoritma.
Hingga di ujung 2017, drama pelintiran kebencian ini semakin membuat miris. Kebencian menutup hati seseorang atas pembuktian kebenaran. Kebencian membuat orang tak berdosa menyebar hasutan. Bahkan kebencian seolah menghalalkan aksi main hakim sendiri dan menindas yang lemah secara komunal. Salah satu aksi main hakim sendiri yang dilakukan sampai 100 kasus adalah persekusi. Ya, berdasarkan catatan SAFENET, 100 kasus sepanjang tahun 2017 dan dari sebanyak kasus tersebut, para pelaku persekusi hingga hari ini belum terungkap apalagi dipidanakan sekalipun apa yang mereka lakukan sudah jelas melanggar hukum. Mungkinkah aparat penegak hukum negeri ini takut sampai terkencing-kencing jika harus menertibkan kelompok yang demen melakukan persekusi?
Kenapa ujung-ujungnya menyalahkan aparat penegak hukum? Tidak, pertanyaanku bukan menyalahkan Aparat Penegak Hukum. Hanya mempertanyakan, kenapa tak satupun mereka berani menangkap para pelaku persekusi atau main hakim sendiri. Bahkan dalam beberapa tayangan foto/video persekusi, Aparat malah seperti menemani para persekutor dengan alasan untuk menjaga ketertiban. Di sinilah aku merasa otakku juga somplak.
Negeri ini makin nggak beres kalau Aparat Penegak Hukum takut menghadapi kelompok politik maupun komplotan yang gemar mengancam dan menghardik. Negeri ini makin berantakan kalau pemain politik kekuasaan mengandalkan pelintiran kebencian dalam kampanyenya. Siap-siap saja kita perang saudara lagi memasuki Pemilu 2019. Boleh jadi tahun 2018 akan menjadi tahun yang penuh dengan pelintiran kebencian dan tindakan main hakim sendiri, yang bebas menerabas dan menerobos pelosok negeri karena Aparat Penegak Hukumnya jeri. Boleh jadi juga tahun 2018 akan semakin banyak yang memainkan pasal Pencemaran Nama Baik dari UU ITE yang telah direvisi dan tak pernah dipahami dengan benar oleh netizen maupun Aparat Penegak Hukum itu sendiri.
Saya berdoa semoga tahun 2018 tidak lebih muram dari tahun ini. Atau boleh jadi kita memang sengaja dihanyutkan dalam hari-hari penuh kemuraman agar tak peduli lagi dengan persoalan di negeri ini, mulai dari korupsi, eksploitasi, dan konspirasi.
Kupikir banyak orang yang ingin keimanan seseorang membuat kehidupannya menjadi lebih damai. Damai secara pribadi maupun damai sesama sebangsa. Kupikir banyak yang ingin agar agama tidak menjadi balutan atas arogansi, kefanatikan, kebencian dan keserakahan. Kita tidak ingin terjadi lagi, di mana kejahatan dilakukan atas nama agama maupun keimanan, apalagi atas nama Tuhan. Jika itu masih terjadi, aku khawatir generasi setelah kita –dengan kekuasaan pada zamannya– akan menolak agama dalam kehidupan mereka tersebab trauma dengan berbagai kebiadaban yang dilakukan atas nama Tuhan, agama apapun itu. Sebab setan dari semua kebiadaban bukanlah agama, melainkan mereka yang menjual diri pada hegemoni kekuasaan.
Leave a Reply