Setiap orang punya keinginan untuk berkumpul. Apakah itu namanya kelompok, komunitas, gank, arisan, dan lain-lain, pada hakekatnya merupakan wujud dari kebutuhan sosial. Setiap upaya berkelompok amat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi pada zamannya. Bayangkan saat Indonesia pada era koloni Belanda. Kaum muda yang progresif tetap berjuang untuk bisa berkumpul, berdiskusi, dan bergerak bersama dalam berbagai organisasi. Mereka butuh berkumpul untuk satu hal: Perubahan!
Meskipun untuk berkomunikasi antar anggota kelompok tidak semudah zaman sekarang, tetap saja kaum muda saat itu punya cara sendiri untuk dapat mewujudkan visi dan misinya. Untuk mengorganisasikan sesamanya, mereka rela berjalan dari kota ke kota dengan kendaraan umum. Bahkan dengan berjalan kaki.
Saat Indonesia merdeka, tetap saja kaum muda berusaha agar tetap bisa berkumpul. Tujuan mereka juga satu : Perubahan. Begitupun saat Orde Baru, Orde Reformasi alias Orde Koalisi, kaum muda Indonesia tak pernah berhenti melakukan perubahan. Kenapa mereka selalu menginginkan perubahan?
Jika kita kembali merenung tentang posisi pemuda Indonesia, mereka selalu digoda oleh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Mereka juga kerap mengkritisi perilaku oknum pejabat, tentara, polisi, maupun politisi yang bertentangan dengan nalar dan empati mereka. Misalnya saja dugaan korupsi, perecokan KPK, lumpur lapindo, presiden pengiba, dan sebagainya. Hal-hal sepele pun begitu mudah direspon oleh kaum muda.
Pengelola negara dan pemerintahan seharusnya terbiasa menyikapi geliat anak muda. Tak perlu merasakan khawatir dan takut yang berlebihan. Seharusnya mereka bisa lebih tenang, tentram dan damai menyaksikan geliat kaum muda yang tak pernah mau berhenti bergerak. Terus bergerak. Tak akan pernah berhenti bergerak, seiring tiada hentinya pertumbuhan generasi.
Sudah menjadi karakter pemuda pula, apabila gerakannya mendapatkan tekanan dari pemerintah, bukannya berhenti malah menjadi-jadi. Itulah yang menyebabkan semangat perubahan bertransformasi menjadi sebuah perlawanan. Lho? Memang perubahan berbeda dengan perlawanan?
Keduanya -perubahan dan perlawanan- adalah dua kata yang berbeda, meskipun bisa berjalinkelindan.
Perubahan
1. hal (keadaan) berubah; peralihan; pertukaran: rupanya ~ cuaca masih sulit diperhitungkan;
source: kbbi32. Man. perbaikan aktiva tetap yg tidak menambah jumlah jasanya;
source: kbbi3Perlawanan
1. proses, cara, perbuatan melawan; usaha mencegah (menangkis, bertahan, dsb); perjuangan: dia berusaha mengadakan ~ dng gigih;2. pertentangan; source: kbbi3
Jika mengacu pada definisi yang saya contek dari KBBI yang saya akses melalui artikata.com, jelas kedua kata tersebut berbeda. Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari di negeri ini, pemerintah cenderung mencampur-adukkan keduanya, sehingga setiap kritik, protes, maupun ide perubahan selalu dipandang sebagai pertentangan.
Padahal kaum muda Indonesia nggak gitu-gitu banget koq. Ide perubahan yang selalu dimotori oleh pemuda Indonesia selalu bertujuan konstruktif, bukan destruktif. Meskipun ada sedikit kaum muda yang masih gemar tauran, narkoba, dan tindak kriminal lainnya, tapi lihat saja yang lebih baik dari kenaifan itu. Lihat saja gerakan koin sastra, itu merupakan wujud kepedulian pemuda Indonesia terhadap warisan sastra dan kebudayaan nusantara. Lihat lagi gerakan blood for life, yang banyak membantu mereka yang membutuhkan bantuan darah. Ayo, apa lagi? BHI pernah bikin gerakan dengan memberikan kambing di bangsari, Koin Prita, 1001 buku, Jalin Merapi, #saveKPK, dan gerakan lain yang intinya melakukan perubahan. Baik perubahan nasib seseorang maupun perubahan mindset orang terhadap sesuatu hal.
Nah, seperti yang saya tulis di atas, setiap upaya berkelompok atau gerakan perubahan juga dipengaruhi oleh teknologi pada zamannya. Dulu bolehlah pemuda jalan kaki, beranjak dengan kirim kabar pakai surat, telegram, pager, sms, nelpon, dan hingga kini lebih dimudahkan dengan media sosial.
Peran jejaring sosial dalam menggerakkan banyak orang berbuah sesuatu yang konstruktif bisa dilihat di buku dan film @linimas(s)a, yang baru saja dirilis versi keduanya (3/11). Film ini menggambarkan dengan jelas bagaimana jejaring sosial menjadi pemicu sebuah gerakan perubahan di kalangan orang-orang muda di beberapa pelosok Indonesia.
Namun social media (termasuk blog di dalamnya, yang mengalami pengayaan istilah menjadi social media), tetaplah sebuah alat saja. Apakah alat tersebut hanya akan menjadi tempat curhat kegalauan, atau bisa bertransformasi menjadi social capital hingga social movement, sangat tergantung dari kita sendiri (baca: netizen, blogger, komunitas).
Media sosial an-sich, tak akan memicu perubahan apa-apa. Tetapi jika sudah menjadi social capital, baru bisa memberikan manfaat, dan terutama perubahan untuk Indonesia yang lebih baik. Merujuk @ririsatria, internet mampu membentuk modal sosial melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam membahas berbagai isu sosial (social participations), meningkatkan integrasi sosial (social integration), bertukar pikiran atau berdiskusi (exchange information), serta melakukan kegiatan kolektif sosial (social actions).[1]
Blogger adalah salah satu entitas yang dekat sekali dengan pemanfaatan media sosial. Mereka punya posisi yang penting sebagai penyebar kritik dan ide perubahan. Mereka pula yang secara personal dapat berperan lebih bertanggung jawab sebagai pelengkap mainstream media. Apakah saya terlalu berlebihan mengharapkan blogger sebagai penggerak perubahan? Saya pikir blogger pantas memerankan fungsi tersebut. Apalagi jika kita menyederhanakan peran blogger untuk daerahnya masing-masing. Mereka dapat menjadi pendamping pemerintah daerah dalam mewujudkan berbagai rencana pembangunan atau pun sebagai gerakan pengingat jika para pengayom desa dan kota hanyut dalam proyek-proyek yang melupakan kemaslahatan masyarakat.
Dalam konteks nasional, saya pikir tak perlu lagi diperdebatkan. Peran blogger yang tersebar dalam beragam komunitas dan LSM, pada Deklarasi ID-IGF di Jakarta kemarin, adalah bukti bahwa mereka peduli dengan perkembangan kebebasan dan kebijaksaan berinternet di negeri ini. Selanjutnya, mari kita terus meningkatkan kapabilitas agar gerakan ini menjadi modal sosial untuk perubahan yang lebih baik.
Leave a Reply