Enambelas tahun yang lalu aku melakukan perjalanan yang mengubah cara pandangku tentang suku Baduy. Perjalanan itu berawal dari keresahanku melihat begitu banyak informasi yang beredar tentang Baduy – baik di internet maupun buku-buku referensi – yang terasa tidak tepat, bahkan terkadang meremehkan kehormatan mereka.
Aku ingat bagaimana pada malam pertama di Ciboleger, Pak Asep dan Abah Jadul mengujiku dengan buah Momolok. Mereka sudah merasakan kedatanganku melalui firasat Ayah Mursid. Dan benar saja, ketika semua teman perjalanan saya tertidur pulas, aku masih terjaga, terlibat dalam dialog yang membuka mataku tentang siapa sesungguhnya orang Baduy.
“Di Indonesia banyak adat dan budaya. Namun kebanyakan saat ini sudah punah karena tekanan budaya global. Kami – Suku Baduy – masih tetap bertahan. Selama kita kuat dan bersatu dalam memegang adat, maka kita tak akan pernah kalah!” Kalimat Ayah Mursid ini terus terngiang dalam benakku.
Orang sering menganggap suku Baduy sebagai suku yang terbelakang, kuno, bahkan primitif. Tapi setelah melihat dari dekat, aku menemukan sebaliknya. Mereka adalah orang-orang yang kuat dalam memegang teguh prinsip hidupnya, komitmen dengan adat leluhurnya. Ini bukan tentang ketidakmampuan beradaptasi, tapi tentang pilihan sadar untuk menjaga warisan leluhur.
Masih kuingat ketika Ayah Aja dengan sabar memandu perjalanan kami melintasi tujuh bukit. Bagaimana ia mengajarkan kami tentang “Teu Meunang” – larangan yang sebenarnya adalah bentuk kearifan dalam menjaga keseimbangan alam. Atau bagaimana ia menunjukkan Calintu kepada kami – sebuah alat musik angin yang dipasang di ladang untuk menghibur padi yang baru ditanam.
Yang membuatku terharu adalah bagaimana mereka memperlakukan tamu. Di rumah Ayah Aja yang sederhana dengan satu pintu itu, kami dijamu dengan ketulusan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Bahkan ketika kami hendak pulang, ia menunjukkan jalan alternatif yang lebih mudah – sebuah bentuk kepedulian yang tak ternilai.
Ketika menulis buku ini aku tidak menempatkan diri sebagai “ahli” tentang Baduy. Aku cuma ingin membagikan apa yang kulihat, dengar, dan rasakan selama berada di sana. Karena bagiku, yang terpenting adalah membiarkan Baduy bicara tentang diri mereka sendiri.
Beberapa tahun setelah perjalanan pertama itu, aku melihat bagaimana rasa penasaranku mulai terwujud. Kaum muda Baduy yang hidup di Baduy Luar mulai menggunakan teknologi untuk menceritakan kisah mereka sendiri. Mursid, anak dari Ayah Mursid yang dulu masih bocah, kini aktif mempromosikan adat dan produk Baduy melalui media sosial.
Baduy punya “catatan leluhur” yang terjaga hingga kini. Mereka punya catatan sejarahnya sendiri. Mereka bukanlah suku yang tak bisa baca tulis seperti yang sering digambarkan. Mereka punya cara sendiri dalam mengabadikan setiap detik perjalanan hidupnya. Dan kini, mereka mulai bicara pada dunia dengan cara mereka sendiri.
Buku ini adalah kesaksianku tentang sebuah komunitas yang telah mengajarkan banyak hal tentang kearifan, kejujuran, dan keteguhan dalam menjaga warisan leluhur. Melalui buku ini, aku berharap pembaca bisa melihat Baduy sebagaimana mereka ingin dilihat, bukan sebagaimana orang luar ingin menggambarkan mereka.
Karena itu, biarkan Baduy bicara. Biarkan mereka yang menceritakan siapa diri mereka sesungguhnya.
Kamu udah baca bukunya?
Leave a Reply