Sudah lama aku sekadar tahu ada Kampung Batik di Pal Batu, Jakarta. Kampung Batik ini diinisiasi oleh Budi Darmawan dan Temmy, sejak 2011. Tapi baru 2016 aku mampir dan bercengkrama di rumah utama, yang mengajak masyarakat sekitar Pal Batu IV tergerak membatik. Apa yang membuatku mampir? Nanti kujelaskan. Janji!
Dulu, sekitar 1994-1995 aku sering nongkrong di sekitar sini. Tepatnya di Pal Batu 1 dan simpang halte yang sekarang di seberangnya ada Kota Kasablanca (Kokas). Yang kutahu, dulu tak ada kampung batik di sekitar Pal Batu ini. Dulu aku pernah sesekali menyaksikan ibu-ibu PKK lebih sering latihan paduan suara Keroncong. Tak ada ibu-ibu PKK yang membatik. Rupanya orang-orang yang sedang bercengkrama denganku inilah yang “meracuni” warga sini membatik. Mereka bisa dibilang pendatang yang nekad. Ibarat misionaris atau da’i yang datang ke suatu kota untuk menyebarkan agama, Budi, Temmy, dan Mustafa dan komplotannya “mendakwahkan” batik di Pal Batu. Tentu ada tantangan dan tentangan dalam membangun Kampung Batik Pal Batu. Tapi soal ini aku tak mau bahas soalnya lebih asyik jika mengetahui tantangan maupun tentangan “Dakwah Batik” secara langsung, ngobrol dan ngopi di rumah nomor 17 ini. Visi dan pencapaian para pembatik ini lebih seru diobrolkan ketimbang diulas secara tekstual.
Wait! Ngobrol dan ngopi?
Nah, itulah yang sebenarnya membawaku mampir ke sini. Tawaran pak Mustafa dan Dobelden, Duo Penjihad Kopi dari Temanggung untuk ngopi di Pal Batu sudah kuterima sejak seminggu sebelum hari kedatanganku. Persoalannya aku terlalu sibuk menipiskan sendal jepitku di aspal, barulah sempat ke sini pada siang hari, sebelum berangkat ke Jogjakarta. Ya, jadi mereka berdua itu yang memaksaku mampir. Tawaran ngopi bareng mereka itu adalah sesuatu yang amat mengganggu pikiran jika tak diusaikan. Pertemuan awal dengan keduanya dalam obrolan tentang kopi adalah pada perhelatan Jagongan Media Rakyat 2016 di Jogja National Museum. Dari situ berlanjut di Kasepuhan Ciptagelar, di mana kami selalu mengisi waktu luang selepas survei lokasi turbin mikrohidro dan BTS di beberapa titik Kasepuhan Ciptagelar.
“Yuk, ngopi dulu biar cerdas!” seloroh pak Mustafa hampir setiap kami bertemu di rumah Kang Yoyo. Di bagian belakang rumah itulah aku menikmati cara Pak Mus dan Kang Den menyajikan kopi. Apa saja request kopiku, disediakan oleh mereka berdua. Kala aku coba seduh sendiri, memang terasa beda taste-nya. Sebab itu, jika mereka mengajak untuk ngopi, sayang sekali jika tidak dipenuhi.
Sambil menyeruput kopi buatan pak Mus, aku melanjutkan obrolan dengan para penjihad Batik. Mas Budi dan mas Temmy bergantian mengulas kembali bagaimana awal mereka membangun komunitas batik di Pal Batu. Ibu Yuyun yang adalah warga asli Pal Batu turut menceritakan kisah tentangan maupun tantangan para pembatik. “Dulu kegiatan kami ya, seperti yang tadi kamu bilang, paduan suara dengan musik keroncong saja. setelah adanya Kampung Batik, kami diajarkan cara membatik dan menjual batik kami.” kenang Ibu Yuyun.
Batik dan Keraton
“Apakah Kampung Batik Pal Batu ini memiliki karya khas yang bisa disebut sebagai batik Jakarta?” tanyaku.
Pertanyaan tersebut dijawab kembali dengan pertanyaan, “Memang ada Batik Jakarta atau Batik Betawi?” oleh pak Budi. Sebagai orang yang termasuk jahiliyah soal batik, aku menggeleng. Aku tak tahu apakah pernah ada batik di Betawi atau Batavia pada zaman Belanda. Menurut pak Boedi yang diiyakan oleh pak Temmy (Apa sih, tadi gue nyebut mas, sekarang pak), sejarah batik di Indonesia adalah sejarah batik keraton. Batik adalah sebuah kreasi yang dititahkan kerajaan kepada para pembatik di lingkungan kerajaan. “Nah, apakah di Jakarta atau Batavia, atau Betawi ada kerajaan?” tanya pak Budi kepadaku.
Batavia atau Sunda Kelapa pada masanya hanyalah kota pelabuhan yang dikuasai oleh Kerajaan Sunda, lalu beralih dalam kekuasaan Kesultanan Banten hingga direbut oleh Kolonial Belanda. Jika kembali pada argumen pak Budi tentang lekatnya batik dengan kekuasaan keraton, maka Jakarta tak memiliki apa yang dinamakan batik. Sampai di sini aku memikirkan, apakah benar pada mulanya batik bukan merupakan kegiatan ekonomi rakyat? Perlu penelusuran sejarah nih lain waktu. Sekarang nggak bahas yang rumit-rumit deh. Tapi kalau ada di antara pembaca penasaran atau sudah punya pengetahuan tentang hal ini, silakan berbagi informasi, ya!
Buat sekadar baca-baca, menarik nih artikel tentang sejarah batik di blog Majalah Arkeologi Indonesia.
Batik dan Kopi
Namanya juga obrolan ngalor-ngidul, di sela obrolan tentang batik, tersisipi obrolan tentang kopi. Aku memotret beberapa jenis kopi yang dibawa oleh pak Mus dan kang Den. Ada satu hal yang menurutku baru. Biasanya mereka cuma berkoar tentang Kopi Temanggung dan Kopi Mukidi. Kali ini mereka menyebut tiga gunung sebagai nama kopi yang mereka sajikan. Ada kopi Arabica Gunung Prau, Gunung Sumbing, dan Gunung Sindoro. “Kenapa menamakannya pakai nama gunung?” aku tertarik.
Sederhana saja, mereka memang mendapatkan kopi tersebut dari kebun-kebun kopi di ketinggian 1200 DPL di ketiga gunung tersebut. “Jadi kami ingin orang tahu bahwa kopi ini memang asli dari kebun kopi di gunung Sindoro, Prau, dan Sumbing. Oleh sebab itu kami menjadikan nama gunung tersebut sebagai nama pada kemasan kopi kami.” jelas kang Den yang ditambah-tambahi oleh pak Mus. Oiya, pak Mus ini bikin aku salut. Dia adalah generasi keempat dari sebuah keluarga batik di Solo. Iapun peneliti dan peracik kopi sejak mengenalnya di Temanggung. Dua keunikan ini dipadukan olehnya, tidak ditinggalkan salah satunya. “Saya adalah pembatik sejak lahir. Dan saya pun petani kopi. Selain soal istri. Jika ada dua cinta lain dalam hidup saya, keduanya adalah Batik dan Kopi.” Pak Mus tidak sedang merayuku.
Yang penasaran dengan kopinya pak Mus dan kang Den, silakan cek di Instagramku dengan tagar #arabicaprau. Kalau tertarik untuk belajar batik dan kopi, silakan datang saja ke Pal Batu IV. Udah, ah gitu aja. Aku mau siap-siap ke Tenggarong,
Leave a Reply