Asadessa adalah sebuah film dokumenter tentang gerakan warga desa dalam membangun negerinya sendiri. Film ini memuat pesan yang amat kontekstual dengan tren yang belakangan ini santer, yaitu ocehan tentang smart village, smart city, smart community, smart ecosystem, dan bla-bla-bla lainnya.
Di tengah ocehan para pakar yang tentang teori menjadi smart, beberapa desa menjalankan inisiatifnya sendiri. Mereka tak mengenal teori perubahan, mereka tak pernah membaca teori para konsultan smart city tentang people, process, dan technology. Mereka didorong oleh kebutuhan dan tuntutan zaman, bahwa desa harus menjadi teladan pemerintahan yang bersih, akuntabel, transparan, dan efektif. Dengan dukungan para relawan dari Gerakan Desa Membangun dan Relawan TIK, desa-desa tersebut menjalankan inisiatif secara gotong-royong.
Namun di antara desa-desa yang memandirikan dirinya sendiri. Masih ada beberapa desa yang tak tersentuh infrastruktur telekomunikasi. Sebuah desa di Kalimantan Utara masih berharap pemerintah maupun sektor bisnis membangun jaringan telekomunikasi di daerahnya. Harapan yang seolah-olah tak mungkin bisa diiyakan apabila sektor bisnis hanya mempertimbangan untung-rugi investasi.
kalau pemerintah lambat bekerja, akan disalip corporate, sementara komunitas/masyarakat punya solusi sendiri yg lebih pas dg kebutuhan.
— MT (@mataharitimoer) June 16, 2015
Potret tentang desa-desa di atas dijahit dalam film Asadessa yang merupakan film dokumenter ke-4 dari ICT Watch. Bagaimana suasana nobar perdana Asadesa? Silakan melihat rekamanan twit mereka yang menyaksikan di lokasi.
Lalu kenapa Asadessa huruf S-nya ada dua? Bukankah seharusnya satu saja: Desa?
Mau tahu aja atau mau tahu banget? Kalau mau tahu aja, “Kalo S-nya satu, kurang dingin.” Kalau mau tahu banget, penjelasannya harus sambil ngopi. Ngopi, yuk!
Leave a Reply