Pagi yang masih berpolusi, Atun sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya di bawah kolong jembatan dekat stasiun. Nasi bungkus langganan jadi pilihan wajib. Harganya Rp10.000 per bungkus, cukup untuk bertahan sampai siang. Ia membeli 3 bungkus, buat ia sendiri dan kedua anaknya, Romlah dan Romli. Suaminya, Bang Udin tak jelas masih hidup atau mati.
Sehari, hanya untuk sarapan Atun mengeluarkan 30 ribu. Buat makan malam paling kalau diancer-ancer 45 ribu. Lho, nggak makan siang? Jarang. Keluarga mereka makan siang sedapatnya aja. Anggaplah sehari cuma buat breakfast dan dinner, Atun keluar kocek 75 ribu. Kalau dikali 30 hari, berarti per bulan anggaran Atun sebesar Rp2.250.000. Kalau mengacu pada standar Garis Kemiskinan (GK) di Jakarta, yaitu Rp846.085 berarti keluarga Atun berada di atas GK. Selamat, Selamat ya Tun, elu gak termasuk orang miskin. Jadi jangan ngedumel kalo gak kebagian bansos.
Berdasarkan standar GK, kalau pengeluaran per bulanmu di bawah angka itu, kamu tidak masuk kategori miskin. Tapi, apa benar angka itu bisa jadi ukuran?
Atun yang sudah puluhan tahun hidup di Jakarta, tahu betul bahwa hidupnya masih jauh dari cukup meski pengeluarannya di atas angka itu.
Di tempat-tempat seperti kolong jembatan, gang-gang sempit, atau pinggiran rel kereta, garis kemiskinan cuma kayak angka di atas kertas bungkus gorengan, ketimbang sesuatu yang bisa dirasakan. Standar nasional bilang Rp595.242 per bulan cukup untuk hidup layak. Tapi, siapa yang cukup? Apakah cukup itu berarti makan tiga kali sehari? Bagaimana dengan listrik, sewa kontrakan, ongkos transportasi? Angka ini, meski penting, seringkali hanya menjelaskan “seberapa miskin” seseorang dari sudut pandang statistik, bukan dari realitas.
Mari kita bicara jujur. Hidup di Jakarta itu mahal. Mau makan sederhana di warteg, sekali duduk bisa habis Rp15.000. Kalau standar garis kemiskinan harian dihitung sekitar Rp20.000 per orang, artinya uang itu hanya cukup buat satu kali makan. Lalu untuk kebutuhan lain bagaimana? Ongkos ke pasar, biaya sekolah, beli pulsa? Realitasnya, hidup bukan cuma soal makan, tapi soal bertahan di tengah serbuan kebutuhan dasar yang terus membengkak. Belum lagi buat bayar tukang palak maupun petugas.
Standar garis kemiskinan nasional memang mencoba menyesuaikan dengan kebutuhan di tiap daerah. Di Papua Pegunungan, misalnya, garis kemiskinannya mencapai Rp1.079.160 per kapita per bulan. Bandingkan dengan Jawa Tengah yang cuma Rp521.093. Perbedaan ini, di atas kertas, masuk akal karena biaya hidup di Papua jauh lebih tinggi. Tapi apakah adil jika angka-angka itu dirata-ratakan secara nasional? Tentu saja tidak. Angka rata-rata Rp595.242 seolah membuat kemiskinan di Papua dan Jawa tampak setara, padahal kenyataan di lapangan jelas berbeda.
Saya memang awam soal statistik, masih perlukah standar yang berbeda dirata-ratakan secara nasional? Bukankah itu malah akan menjauhkan data dengan realitas?
Dengan standar kemiskinan yang dirilis pemerintah, berarti mereka yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan dianggap tidak miskin, tapi juga jelas-jelas tidak kaya. Mereka ini masuk kategori “rentan miskin,” istilah yang menggambarkan betapa rapuhnya hidup mereka. Kenaikan harga beras, sakit mendadak, atau kehilangan pekerjaan cukup untuk membuat mereka jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Bisa juga dibilang sebagai masyarakat tepi jurang. Meleng dikit, wassalam.
Saya jadi curiga, apakah data kemiskinan itu dibuat hanya untuk menunjukkan bahwa jumlah orang miskin semakin berkurang sehingga menjadi rasionalisasi atas keberhasilan pemerintah mengentaskan kemiskinan?
Mengukur kemiskinan lewat angka itu penting, tapi angka tak bisa mengungkap inti persoalan. Garis kemiskinan yang ada sekarang, meski dibangun dengan logika ekonomi, sering gagal menangkap realitas di kolong jembatan, kampung kumuh, pemukiman di sebelah rel kereta, dan pemukiman padat lainnya.
Pada akhirnya kita harus melihat kenyataan bahwa kemiskinan lebih dari sekadar angka. Kemiskinan adalah cerita tentang manusia, tentang bagaimana mereka berjuang di tengah sistem yang sering kali tak berpihak pada mereka. Jadi sebelum menetapkan batas garis kemiskinan berikutnya, mungkin kita perlu menghabiskan waktu sehari saja hidup di kolong jembatan atau di gang sempit seperti Atun. Dengan begitu barangkali petugas statistik akan lebih hati-hati menuliskan angka-angka yang dirilis dengan bangga bahwa rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin rendah di Indonesia.
Sudah tengah malam. Romlah dan Romli belum berhasil mencari emaknya. Kabar dari Mpok Nonon, Atun dibawa sama petugas karena melawan saat dilecehkan. Romlah berdoa semoga emaknya baik-baik saja. Jangan sampai mati sebab kasihan pemerintah kalau jumlah orang yang hidup di atas garis kemiskinan jadi berkurang.
Leave a Reply