Meta Tutup Cek Fakta, Bebas atau Lepas Kendali?

Pernahkah kamu merasa ragu pas lihat berita viral? Ada yang bilang benar, ada yang teriak hoaks. Di tengah kebingungan itu platform media sosial biasanya melibatkan pemeriksa fakta untuk meluruskan kabar miring. Tapi dari kabar yang kubaca kemarin, Meta yang punya Facebook, Instagram, dan WhatsApp, malah menghentikan program cek fakta dan menyerahkan tugas mengawasi banjir informasi lewat fitur Community Notes.

Perubahan Meta tersebut (walau baru diterapkan di Amerika Serikat tapi bisa aja diterapkan ke semua negara) nggak cuma menuai perdebatan di kalangan netizen, tapi juga jadi sorotan figur publik. Meghan Markle dan Pangeran Harry, yang dikenal aktif di isu-isu sosial, ikut mengkritik keputusan Meta. Mereka menilai langkah ini berpotensi memperparah penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Kritik mereka relevan banget, mengingat dampak dari hoaks bukan sekadar debat digital, tapi bisa memicu konflik sosial di dunia nyata.

Markus Beckedahl, pakar digital sekaligus pendiri blog “Netzpolitik.org,” menyebut langkah Zuckerberg sebagai “perubahan 180 derajat” yang tunduk pada tuntutan Partai Republik dan pemerintahan baru Donald Trump.

“Meta telah memenuhi hampir semua keinginan Partai Republik, termasuk penghapusan pemeriksaan fakta dan penegakan kebebasan berbicara radikal di platform mereka,” ujar Beckedahl dalam sebuah wawancara televisi di Jerman.

Mirip kayak obrolan warga yang rame, setiap orang bisa kasih catatan tambahan di unggahan kontroversial. Tapi, apakah ini bikin diskusi makin sehat atau malah jadi ajang debat kusir? Dalam konteks Indonesia, deh lihat. Kita tahu sendiri bagaimana kebiasaan netizen +62 kalau sudah terlibat dalam perang konten dan komentar, apalagi dalam musim polarisasi politik kekuasaan. Kebayang, kan?

Community Notes dirancang biar pengguna bisa saling mengoreksi informasi dengan memberikan konteks tambahan. Dalam teori, fitur ini bikin diskusi lebih transparan dan mengurangi dominasi satu pihak. Misalnya, kalo ada unggahan tentang kenaikan harga BBM, catatan tambahan dari pengguna lain bisa ngasih data pembanding.

Tapi ada celah cheating di sini:

  • Serangan Terorganisir: Grup tertentu bisa kompak bikin catatan tambahan sesuai kepentingan mereka. Jadi, bukannya membenahi fakta, malah bikin narasi tambah bias.
  • Kurangnya Verifikasi Profesional: Beda banget dibandingkan dengan cek fakta yang melibatkan jurnalis dan ahli yang selama ini melakukan cek fakta, Community Notes hanya bergantung pada suara mayoritas yang bisa saja kurang obyektif.

Di sinilah masalahnya. Catatan komunitas tanpa batas bisa jadi mirip echo chamber, di mana yang terdengar cuma suara-suara yang mereka pengen dengar sendiri. Sekali kelompok dominan ambil kendali, kebenaran bisa dibelokkan sesuai selera mereka.

Tenang, kan Meta punya AI. Eits…,

Benar Meta juga mengandalkan kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi pelanggaran berat seperti ujaran kebencian, konten terorisme, dan narkoba. AI punya keunggulan: bisa memindai jutaan konten dengan cepat. Tapi, apakah AI cukup pintar memahami isi kepala manusia terutama dalam memahami konteks lokal?

AI sering kesulitan membaca maksud di balik tulisan. Meme satir bisa disangka ujaran kebencian, sementara provokasi halus malah bisa lolos. Itulah kenapa dalam beberapa pertemuan dengan Tim Pemeriksa Fakta dari Meta, aku melihat mereka (Meta) tetap melakukan verifikasi oleh manusia, tak cuma mengandalkan mesin. Nah, manusia mana yang kredibel, mereka yang profesional melakukan cek fakta atau catatan komunitas?

ini bukan Mark Zuckerberg. Cuma generated by AI.

Lagi pula, kalau Zuckerberg bilang Cek Fakta bisa bias, AI apalagi dong. AI itu dilatih pakai data manusia yang tentu nggak netral. Jika datanya cenderung bias, hasil deteksinya pun bias. Netizen kita udah banyak yang mempraktikkan bagaimana mereka bikin AI jadi halu. Aku sendiri beberapakali sengaja uji coba podkesan bareng AI, hahaha… benar-benar bisa kita “setel” sesuai tendensi kita sendiri.

Oke AI makin lama makin terlatih, tapi dalam konteks sebaran informasi, tetap belum tentu valid. Teknologi tetap butuh humanisasi biar nggak gegabah.

Meta berdalih bahwa kebijakan ini bertujuan membebaskan pengguna dari kontrol yang dianggap terlalu ketat. Namun kebebasan berekspresi tetap ada batasnya. Menurut Article 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), kebebasan berekspresi boleh dibatasi untuk melindungi hak orang lain dan mencegah kerusakan sosial.

Cek lagi aja hasil penelitian Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia): hoaks politik dan isu agama selalu lebih cepat menyebar dibanding berita faktual. Ini bukan isapan jempol. Pernah ada kasus di Indonesia di mana hoaks pemilu memicu gesekan antarwarga. Tanpa moderasi yang tepat, media sosial bisa jadi api yang membakar kepercayaan antarindividu dan komunitas.

Pikirin lagi deh, Meta!

Perubahan kebijakan ini boleh jadi memberikan dampak bagi demokrasi digital. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, Community Notes bisa berubah jadi arena debat liar yang memperparah polarisasi masyarakat. Bukan nggak mungkin, platform ini malah jadi senjata bagi kelompok ekstrem untuk menyebarkan propaganda.

Meta tetap perlu ada lembaga independen yang terlibat dalam moderasi konten agar tetap netral dan nggak tunduk pada tekanan politik. Menyetop program Cek Fakta pihak ketiga, bisa jadi akan membawa kita kembali pada era keliaran informasi di mana masyarakat (yang literasinya rendah) gampang sekali diprovokasi oleh kelompok yang memanfaatkan media sosial untuk menciptakan kekacauan informasi.

Meta mengambil risiko besar dengan mengganti program cek fakta menjadi Community Notes. Meskipun terlihat seperti upaya demokratisasi, sistem ini perlu diawasi dan dikembangkan agar tidak jadi alat manipulasi baru. Jangan sampai niat baik membuka ruang diskusi malah jadi pintu masuk bagi hoaks dan ujaran kebencian.

Buah jambu, buah kedondong. Jangan gitu, dong!


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

2 responses to “Meta Tutup Cek Fakta, Bebas atau Lepas Kendali?”

  1. dobelden Avatar
    dobelden

    Klo sampe diterapkan di Indonesia, remook upaya2 C.A.B.E

    1. tekemprul Avatar
      tekemprul

      yaa kita liat aja. semoga ajaaaa nggak

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.