Brain Rot, Daya Hidup Melorot

Pernah gak, merasa capek banget padahal cuma rebahan sambil scrolling Instagram, TikTok, atau X? Awalnya cuma klik satu video lucu, lalu tanpa sadar udah habisin satu jam nonton video lainnya yang gak ada ujungnya. Kita ketawa sih, tapi ada rasa hampa yang tiba-tiba datang setelahnya. Saya pernah begitu dan ternyata banyak dari kita juga merasakan kondisi yang mirip.

Dari beberapa artikel yang saya baca, sesekali gak masalah tapi kalau setiap hari atau bahkan dalam sehari kita mindless scrolling berkali-kali, bisa berisiko panjang. Fungsi otak kita jadi ngadat karena jarang dipakai buat menganalisis. Nalar kita dibuat hibernasi karena otak kita mengalami pembusukkan.

Para ahli menyebutnya Brain Rot.

Brain rot mulai dikhawatirkan sehingga banyak yang bertindak untuk mencegah agar anak-anak tak mengalaminya. Ditengarai kebijakan Pemerintah Australia melarang media sosial untuk anak usia di bawah 16 tahun juga salah satunya karena brain rot. Bayangkan generasi muda kita mengalami brain rot, bagaimana jadinya masa depan bangsa?

Apa sih sebenernya brain rot? Dan gimana kita bisa kena? Apa benar gara-gara konten receh? Trus gimana pemulihannya? Yuk, lanjut baca!

Ingat gak suatu malam pas rebahan sebelum tidur, kita cari hiburan. Kita buka TikTok, niatnya “refresh sebentar”. Tapi kenyataannya? Tiga jam lewat begitu aja gara-gara liatin video prank absurd, review makanan pedas, goyang sadbor, goyang meriang, goyang lainnya, tebak khodam, dan drama seleb yang viral, dsb.. Habis itu, kepala kita malah makin berat, tidur susah, fokus hilang, dan yang ada cuma perasaan “ngapain sih tadi nonton ginian?” atau “Bjirrr, udah jam 3 pagi.”

Menurut para ahli, Itulah ciri khas gejala brain rot. Istilah ini merujuk ke kondisi di mana otak kita kayak “membusuk” (tapi bukan dalam arti sebenarnya) karena kebanyakan terpapar konten remeh yang gak merangsang kemampuan berpikir. Kita jadi gampang terdistraksi, susah fokus, dan otak kita lebih suka sesuatu yang instan daripada hal-hal yang butuh perhatian lebih.

Tapi tunggu dulu. Apa benar konten receh itu buruk buat otak kita?

Kayaknya nggak juga, deh! Beberapa konten receh malah bisa jadi stress reliever yang efektif. Video hewan lucu, stand-up comedy, atau meme absurd bisa bikin kita ketawa dan memperbaiki mood. Selama konsumsi konten kayak gini nggak berlebihan, otak kita tetap aman.

Saya kadang curiga juga sama orang-orang pintar, akademisi yang gampang banget meremehkan konten receh. Di satu sisi mereka bilang, “apaan sih, konten kayak gitu.” tetapi dalam kesempatan lain ada juga yang bilang, “kita bikin konten serius, edukatif, gak ada yang nonton. Yaudah, kita bikin konten receh aja kali ya? Ternyata berdasarkan survey netizen kita gak makan tuh konten edukasi!” Nah, nah sekarang yang disalahin netizennya.

Jadi yang salah konten receh, perilaku netizen, atau apa lagi? algoritma media sosial? atau sistem politik dan pendidikan kita juga memengaruhi brain rot? Atau jangan-jangan salah KPK karena gak berani menangkap Harun Masiku? Eaaa, ngelantur.

Yes, balik lagi. Kita hidup di era dopamine rush. Video lucu berdurasi 15 detik bikin kita ketawa. Postingan absurd yang viral bikin kita penasaran. Otak kita dapet reward berupa rasa senang setiap kali swipe ke konten baru. Belum lagi kalau konten kita dapat like, komen dukungan, dan share. Ini semua memicu dopamine di otak. Tapi kalau kebanyakan, juga berisiko ternyata.

Ingat juga, algoritma media sosial tuh menjerat. Mereka tau banget apa yang bikin kita betah hidup dalam aplikasi. Mereka setor video yang mirip-mirip, terus-menerus, sampai otak kita kelelahan tapi gak mau berhenti. Sampai kita tenggelam di digital universe yang sebenarnya gak nambah apa-apa buat hidup.

Ada gak yang mikir kayak gini, “Yaelah, cuma nonton short video aja, kok lebay banget sih pake ngomongin ‘pembusukan otak’ segala?”

Iya, kita gak bisa menyalahkan kontennya. Lagi pula bikin konten pendek dan menghibur itu nggak gampang lho.

Nah, sampai di sini sepertinya bisa gak disimpulkan kalau Brain rot lebih sering terjadi bukan karena konten recehnya, tapi karena kebiasaan digital kita. Lagi-lagi kebiasaan kita yang saya bahas di blog ini.

Apa aja sih kebiasaan kita? (Kita? elu kali!)

1. Gak bisa ngatur waktu biar otak istirahat

Berapa jam kita habiskan buat scrolling tiap hari? Kalau waktunya terlalu lama, otak akan kelebihan input dan malah susah beristirahat. Otak kita jadi kayak keponakannya bos yang kerja bareng, ambil cuti panjaaaaaang banget hehehe

2. Gak mencoba aktivitas lain yang melatih otak

Terlalu banyak konsumsi konten ringan tanpa diimbangi aktivitas produktif, otak akan kehilangan tantangan dan kebiasaan mencerna informasi yang mendalam. Bandingkan sama otot deh. Kalau otot kita gak dilatih buat bergerak, seperti olahraga ya lama-lama kaku, kendor, dan gampang sakit. Ternyata otak juga begitu.

Dua kebiasaan itu bikin kita bisa alami brain rot. Gejalanya apa aja?

  1. Rentang perhatian pendek
    Pernah buka artikel panjang tapi males baca setelah paragraf kedua atau ketiga? Otak kita udah terbiasa sama informasi cepat dan singkat. Jadi gak sabaran dan gak bisa lama-lama fokus ke sesuatu yang serius. Apa lagi baca blog saya yang suka panjang gak keruan 😛
  2. Suka ngeblank
    Kita jadi sering banget lupa hal penting dan susah mikir logis. Bayangin kalau ini kejadian saat kita lagi diskusi penting atau lagi presentasi. Ini bisa terjadi karena otak kita kelamaan cuti. Udah lama gak baca buku, gak menganalisis film panjang, dan terlibat diskusi serius.
  3. Gampang Bete
    Iya, konten lucu bisa bikin bahagia, tapi ternyata juga bisa bikin emosi kita gak stabil. Mental issue lagi deh. Kita mulai ngerasa cemas tanpa sebab, gampang bete, dan insecure karena terlalu banyak bandingin diri sama hidup orang lain yang terlihat sempurna di medsos

Memulihkan Brain Rot

Brain rot memang bisa bikin otak kita malas bekerja karena kelamaan cuti, tapi belum mati. Jadi masih bisa dipulihkan. Nah, Saya udah coba beberapa praktik buat melakukan keseimbangan hidup.

  1. Detoks digital
    Saya mempraktikan Digital Wellbeing yang ada di Android. Misalnya membatasi jatah aplikasi harian, seperti IG cuma 2 jam/hari, FB 25 menit, Tiktok 15 menit, dan mencoba pembatasan diri lainnya melalui fitur itu. Awalnya pasti berat, tapi lama-lama kita bakal ngerasain bedanya. Kita jadi lebih tenang dan sadar sama lingkungan sekitar. Sadar kita lagi ada di mana, sama siapa, dan apa yang terjadi. Nah, buat mempraktikkan ini, saya tulis dalam buklet berjudul jeda. Baca gratis di sini!
  2. Konten berkualitas
    Coba balik lagi ke selera kita, nonton film dokumenter yang informatif. Baca artikel yang berbobot, atau coba dengerin podcast edukatif. Otak kita gak cuma butuh gula (hiburan) tapi juga butuh nutrisi informasi! 17 episode podcast ini bisa buat latihan ringan buat otak yang dah lama istirahat. Klik aja unboxingfriends
  3. Ketemu manusia
    Jangan kebanyakan chatting doang. Kumpul bareng temen atau keluarga, ngobrol tatap muka. Kita bakal kaget gimana perasaan bisa jauh lebih baik setelah interaksi langsung.
  4. Baca buku
    Gak usah buru-buru habisin satu buku dalam semalam. Mulai dari satu bab sehari. Lama-lama bakal terbiasa lagi buat menyerap informasi lebih panjang dan mendalam. Bisa dimulai dengan buku yang ringan, misalnya buku kumcer saya, berjudul Fucktivist di link ini bisa gratis kok bacanya hehehe…

Udahan, yuk!

Hidup kita emang gak bisa lepas dari gawai dan dunia digital, itu udah jadi bagian dari keseharian kita. Tapi ingat, teknologi ada cuma buat nemenin aja, bukan buat sandaran hidup. Kita yang mengendalikan hape maupun akun kita, bukan algoritma yang mengendalikan kita. Jangan sampai otak yang penuh potensi ini malah jadi layu cuma gara-gara terlalu lama hibernasi.

Sekarang, coba pegang buku yang udah lama kita tumpuk di rak atau meja, matiin notifikasi hape, dan resapi dunia nyata lagi. Kita bakal ngerasain, ada banyak hal indah dalam hidup yang gak bisa kita rasain di layar HP.


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.