Ancaman AI? Gak Ada!

Dalam diskusi AI Literacy Summit yang saya ikuti kemarin (16/12), ada satu kegelisahan yang nyantol di pikiran. Selama ini kita sering ngomongin “ancaman AI” seolah-olah teknologi yang lagi digandrungi ini adalah sosok jahat yang mau ngambil alih peran manusia di dunia. Kenyataan manusia justru ancaman nyata buat AI.

Para pembicara maupun peserta berkali-kali ngomong soal bias dalam AI. Rupanya AI sangat mungkin bias. Biasnya itu juga bisa di-setting dengan memasok data yang kita latih ke AI.

AI tuh NTRL, Manusia Nggak. AI nggak punya niat jahat atau baik. Ia cuma alat yang mengikuti perintah manusia. Masalahnya, manusia yang sering banget salah ngasih perintah atau bahkan punya agenda tersembunyi.

Ini cuma contoh aja ya, algoritma yang dipakai buat layanan publik. Misalnya, ada AI yang disuruh menentukan siapa yang berhak dapat bantuan sosial. Kalau datanya nggak lengkap atau sengaja diatur biar satu kelompok dapet lebih banyak, ya hasilnya bakal nggak adil. AI cuma ngikutin data, sementara manusianya udah manipulatif duluan. Ah, jadi ingat mensos waktu itu yang korupsi Bansos. Lupakan!

Boomers bahkan milenial kita terbiasa keliru menyalahkan yang mestinya tidak disalahkan. Ketika ada polisi yang nembak anak-anak, yang disalahkan pistolnya atau anaknya? Contoh lain adalah banjir ROB Jakarta. Banyak orang langsung nuduh perubahan iklim sebagai biang keladi. Laut dan hujan dianggap pembawa bencana. Padahal ada sesuatu yang lebih dalam. Para ahli lingkungan udah lama bilang kalau itu bukan cuma soal iklim. Itu soal kebijakan pemerintah yang menghabisi hutan mangrove demi pemukiman elit. Hutan mangrove itu tameng alami dari limpahan air laut. Tapi siapa yang peduli? Yang penting tanah kosong jadi hunian mevvah. Tapi kok pemerintah tetap minta pajak ke rakyat jelantah? Apa pemerintah gak dapat dari proyek-proyek mevvah itu?

Ironisnya, “Giant Sea Wall” yang digadang-gadang bakal menyelamatkan pesisir Jakarta Utara malah kalah kuat dibandingkan akar-akar hutan mangrove yang sederhana tapi tangguh. Hasilnya? Air laut tetap masuk, sementara proyek penyelamatan berubah jadi proyek pencitraan. Lagi-lagi, ini bukan salah iklim. Ini salah manusia yang mikir jangka pendek.

Di summit ada diskusi seru soal bias dalam AI. Satu narasumber bilang, bias AI itu kayak kebocoran pipa air. Nggak kelihatan, tapi efeknya bisa kemana-mana. Contoh gampangnya di aplikasi pekerjaan berbasis AI. Ada data lama yang mencatat bahwa pekerja di bidang teknologi kebanyakan laki-laki. Jadi, kalau perusahaan pakai algoritma itu tanpa sadar, kandidat perempuan mungkin tereliminasi lebih dulu. AI nggak salah, manusianya yang nggak hati-hati.

Kebijakan yang salah dan bias data itu adalah ancaman nyata buat AI. Kita suka menganggap teknologi itu dewa yang bisa nyelesain semua masalah. Padahal, AI itu cuma alat yang bekerja berdasarkan data yang kita input. Kalau datanya sampah, ya hasilnya juga sampah.

Jadi, Siapa yang Harus Berubah?

Mau sampai kapan kita nyalahin AI, iklim, atau teknologi lain buat kesalahan yang jelas-jelas kita buat sendiri? Manusia harus lebih bertanggung jawab dalam mendesain, mengelola, dan mengawasi teknologi yang mereka ciptakan. Karena kalau terus-terusan begini, yang jadi ancaman bukan teknologi, tapi kita sendiri.

AI mungkin bisa belajar dari data, tapi manusia harus belajar dari sejarah. Jangan sampai keputusan keliru yang dibuat hari ini jadi warisan bencana buat masa depan. Jadi, masih mau nyalahin AI? Atau mulai bercermin dan sadar, bahwa ancaman terbesar buat masa depan… ya, kita sendiri.


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.