Orang Kaya Bebas Menyiksa Orang Miskin

Orang miskin!” Dua kata yang terlontar dari mulut seorang anak pengusaha toko roti di Cakung memantik amarah warganet. Bukan hanya karena ucapannya yang menunjukkan arogansi, tetapi juga karena tindak kekerasannya terhadap seorang karyawan yang terekam dan viral di media sosial. Kasus yang terjadi pada 17 Oktober 2024 ini menjadi cermin betapa media sosial bisa menjadi sangat bias. Banyak warganet yang terpancing emosi karena sebutan “orang miskin”, sehingga perdebatan bias ke soal itu ketimbang membahas penyiksaan terhadap karyawan.

Memang sih, di Indonesia ini seringkali terjadi “orang miskin” diperlakukan semena-mena oleh orang yang juga tak mau disebut “orang kaya”. Kasus apa coba silakan ungkap, selalu ada benang merah berupa sentimen antara orang kaya terhadap orang miskin. Mungkin orang-orang kaya tapi somplak itu berbuat seenak anusnya karena merasa bisa membayar aparat penegak hukum. Minimal bisa bayar preman untuk membuat orang miskin makin takut padanya.

ilustrasi dibuat dengan generate image by dreamina AI

Balik lagi ke kasus “anak kang roti”, awal kisah bermula ketika seorang karyawan toko roti menolak mengantarkan makanan ke kamar sang anak bos. Penolakan ini bukannya tanpa alasan. Si karyawan mengaku pernah diperlakukan tidak baik sebelumnya. Namun penolakan ini berujung pada tindak kekerasan yang terekam kamera dan kini menjadi viral di berbagai platform media sosial.

Yang menarik, kasus ini tidak berhenti pada masalah kekerasan semata. Kesombongan pelaku yang terekam mengucapkan kata-kata merendahkan dan mengklaim dirinya “kebal hukum” justru memicu reaksi berantai di dunia maya. Seperti biasa, saat proses hukum berjalan lambat dengan alasan “masih dalam penyidikan”, media sosial sudah lebih dulu bertransformasi menjadi “ruang sidang virtual”.

Oknum kepolisian kerapkali menunggu viral, baru bertindak. “No viral, No Justice” seolah menjadi idiom yang nyata. “Kalau nggak viral, apa lagi lu orang miskin, jangan harap lu dibantu polisi!” ceracau Kong Haji Si’an sambil melinting tembako.

Yang mengkhawatirkan adalah bagaimana diskusi di kolom komentar mulai belok ke arah yang tidak baik. Komentar-komentar berbau SARA mulai bermunculan. Ada yang mengungkit-ungkit tragedi kelam 1998. Padahal esensi kasus ini adalah tentang kekerasan dan kesenjangan sosial, bukan tentang identitas etnis atau agama tertentu.

Buat kita yang pernah merasakan bagaimana getirnya suasana saat tragedi 1998 pasti sepakat, berharap agar kejadian tersebut tidak terulang kembali. Cukup! Cuma orang yang nggak pernah hadir di saat itu, atau mungkin pernah terlibat melakukan penyiksaanlah yang mungkin ingin tragedi itu terjadi lagi. Yang waras, rata-rata trauma. “Cukup, Rhoma!” kata Ani.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial bisa menjadi katalis perubahan sekaligus bumerang yang melukai. Di satu sisi, viralnya kasus ini memberi tekanan pada aparat penegak hukum untuk bertindak lebih cepat. Di sisi lain, sentimen SARA yang muncul dalam komentar-komentar warganet justru bisa memecah belah masyarakat dan mengaburkan isu utama.

Kita masih harus belajar bagaimana membahas persoalan di media sosial. Kepedulian terhadap masalah sosial dan main hakim sendiri kadang campur-aduk di media sosial? Ini menjadi PR kita bersama, bagaimana menggunakan media sosial untuk mendorong keadilan sosial tanpa terjebak dalam pusaran kebencian ber-SARA?

Semua pihak harus berbenah. Kepolisian harus menegaskan petugasnya untuk memiliki respons yang berpihak kepada korban ketika menerima laporan. Ini sudah zaman digital, jangan lagi deh kayak tahun-tahun lalu, yang seringkali enggan menindaklanjuti laporan kalau “nggak ada bensinnya”. Malu gak sih sama sindiran netizen selama ini, “kalau nggak viral, nggak bener kerjanya”. Apalagi belakangan ini banyak sekali kasus yang melibatkan oknum polisi yang jahat dan tidak manusiawi. Ayolah polisi berbenah!

Di luar itu, kita semua juga punya tanggung jawab untuk meningkatkan kesadaran warganet agar tidak gampang bias dalam membahas masalah. Cukuplah, Indonesia sudah terlalu sering terlibat dalam konflik SARA. Kita sudah memasuki era di mana “Lu kentut di Cabangbungin Bekasi, orang di Labuan Bajo bisa denger”. Jadi jangan asal komen ya, gesss!

Sekarang balik lagi ke judul tulisan ini. Nggak kok. Itu hanya kejadian di beberapa kasus saja. Banyak juga orang kaya di Indonesia yang punya kepedulian tinggi terhadap yang kurang beruntung. Mereka memberikan makanan seminggu sekali, memberikan donasi, give away, dan segala macam aksi yang menunjukkan bahwa mereka memandang semua orang sama dan berbagi kepada sesama manusia. Judul tersebut hanya untuk menyindir pernyataan anak tukang roti yang diceritakan dalam tulisan ini. Kenyataannya, nggak kaya, nggak miskin, banyak juga orang kita yang peduli terhadap sesama. Contohnya banyak. Salah satunya, banyak yang memberikan donasi buat Agus yang disiram air keras.

Tapi kelebihan segelintir orang kaya di Indonesia itu satu: bebas beli materai dan bikin video minta maaf dan menyesal setelah itu ketawa-ketiwi karena gak sampai dipenjara.


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.