Keputusan Parlemen Australia yang melarang anak di bawah 16 tahun menggunakan media sosial menuai beragam tanggapan dari warganet internetsehat. Dalam polling yang diikuti 3.581 responden di Channel WhatsApp internetsehat, mayoritas atau 1.620 responden (45,2%) menyatakan keprihatinan tentang dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental anak.
Saya membaca artikel tentang keputusan berani Parlemen Australia ini di Kompas.ID. Dari artikel tersebut, saya mendapat beberapa sikap yang hampir sama dengan jawaban polling.
“Banyak kasus depresi dan cyberbully di medsos. Anak perlu tumbuh tanpa tekanan dunia maya,” menjadi pandangan dominan dalam polling tersebut. Kekhawatiran ini sejalan dengan kasus-kasus yang mendasari kebijakan di Australia, seperti kasus kematian Carly, putri pegiat keselamatan daring Sonya Ryan, yang menjadi korban predator online, serta kasus bunuh diri Mac Holdsworth akibat pemerasan seksual di media sosial.
29,9% responden (1.072 suara) memilih pendekatan edukatif dibanding larangan total. Sebanyak 721 responden mendukung argumen “Melarang total bikin anak tak siap digital, lebih baik ajarkan penggunaan bijak sejak dini.” Sementara 351 lainnya berpendapat “Percuma dilarang, anak pasti cari cara akses medsos. Lebih baik ajari cara pakai yang benar.“
Pandangan ini selaras dengan kritik dari berbagai pihak di Australia. eSafety Youth Council menilai kebijakan ini terlalu ekstrem dan tidak mendalami akar permasalahan. Bahkan Unicef Australia memperingatkan bahwa larangan ini berpotensi mendorong anak-anak ke ruang daring yang “tersembunyi dan tidak diatur.” Ya kita tahulah ya, lnternet itu punya dunia underground yang tidak seaman yang tampak di permukaan.
Aspek akademis menjadi perhatian 578 responden (16,1%). Sebanyak 372 suara mendukung argumen “Anak yang kecanduan medsos, nilai sekolah turun,” dan 206 suara menyatakan “Siswa kecanduan medsos sulit fokus belajar.” Ini menunjukkan kekhawatiran signifikan tentang dampak media sosial terhadap prestasi akademik.
Sementara itu, 311 responden (8,7%) justru menekankan manfaat positif media sosial. Sebanyak 172 responden mendukung “Medsos bisa jadi sarana belajar,” dan 139 responden menyatakan “Komunitas online bagus untuk anak.” Perspektif minoritas ini mendapat dukungan kuat dari para ahli seperti Lucy Thomas, pegiat antiperundungan dari Project Rockit, yang mengingatkan pentingnya akses media sosial untuk menolong anak-anak.
Christopher Stone, Direktur Lembaga Pencegahan Bunuh Diri Australia, menambahkan bahwa media sosial memiliki manfaat bagi remaja dengan tekanan jiwa. Namun, fakta ini tampaknya kurang dipertimbangkan dalam proses pembuatan kebijakan.
“Platform medsos bertanggung jawab memastikan keselamatan anak-anak,” kata Perdana Menteri Australia Anthony Albanese, menegaskan esensi kebijakan ini. Dengan ancaman denda 50 juta dolar Australia bagi platform yang melanggar, kebijakan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Meta, TikTok, dan X.
TikTok bahkan mengungkapkan kekhawatiran bahwa aturan ini justru berpotensi menjerumuskan anak-anak ke web yang tidak aman. Pengalaman serupa terjadi di Perancis yang pada 2023 menerapkan pembatasan media sosial untuk anak di bawah 15 tahun, namun pada praktiknya banyak diakali dengan penggunaan VPN.
Menariknya, baik hasil polling maupun diskusi di Australia sama-sama mengungkap perlunya keseimbangan antara perlindungan dan pemberdayaan. Karen Grogan, salah satu penentang kebijakan, menyayangkan minimnya keterlibatan organisasi pemuda dalam proses pembuatan undang-undang ini.
Di tengah pro dan kontra, satu hal yang jelas: keselamatan anak di dunia digital membutuhkan pendekatan komprehensif. Lebih dari sekadar pembatasan, dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, platform media sosial, pendidik, orangtua, dan Enjio untuk menciptakan lingkungan digital yang aman dan mendukung tumbuh kembang anak.
Artikel ini adalah bacaan saya atas hasil polling warganet di Channel WA Internetsehat. Ikuti channelnya di https://channel.internetsehat.id
Leave a Reply