Soeharto Cukup Jadi Bapak Pembangunan. Tak Layak Digelari Pahlawan.

Ketua MPR Bamsoet mengumbar wacana kontroversial untuk memberikan gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto. Ini merupakan upaya berulang-ulang yang dilakukan oleh para penyembah Soeharto dari sejak era reformasi terasa agak laen.

Sebagai generasi yang peduli akan masa depan Indonesia, yang tak gampang terjebak oleh kepentingan partai politik yang rata-rata gak punya budi pekerti, kita perlu melihat fakta secara objektif sebelum mendukung atau menolak ide ini.

Coba deh kita telaah bersama mengapa pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto bukan ide yang bijaksana.

1. Warisan Korupsi 7 Turunan

Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto membangun sistem yang dikenal dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Menurut berbagai sumber, keluarga Cendana diperkirakan ngembat dana antara 1,7 trilyun. Bayangkan, jumlah fantastis ini bisa digunakan untuk membangun ribuan sekolah atau rumah sakit di seluruh Indonesia! Untuk beberapa politisi mungkin bisa buat koleksi hibiki, tas branded buat ani-ani, atau beli pulau, gunung kembar, atau seblak rasa api neraka.

2. Ilusi Ekonomi yang Meracuni Genzi

Banyak Boomers yang berilusi dengan nostalgia “stabilitas ekonomi” era Soeharto, terutama kurs dollar yang rendah. Ini adalah ilusi ekonomi yang parah dan meracuni para Genzi yang nggak kritis. Mereka jadi membayangkan Soeharto itu sosok yang keren banget. Boomers-boomers racun ini adalah mereka yang punya akses leluasa di kekuasaan.

Kurs memang rendah, tapi diatur secara artifisial. Faktanya, di penghujung era Soeharto (1998), 24% rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Stabilitas semu ini akhirnya runtuh saat krisis moneter 1998 melanda.

3. Catatan Hitam Pelanggaran HAM

Soeharto meninggalkan jejak pelanggaran HAM yang mengerikan:

  • Pembantaian 1965-1966: Diperkirakan 500.000 hingga 3 juta orang tewas dalam pembersihan terhadap mereka yang dituduh komunis.
  • Invasi Timor Timur: Sekitar 100.000-200.000 nyawa melayang akibat invasi dan pendudukan Indonesia.
  • Penindasan di Aceh dan Papua: Operasi militer di kedua wilayah ini menyebabkan ribuan korban jiwa dan penderitaan berkepanjangan.
  • Masih banyak lagi catatan kejahatan Soeharto. Silakan para Genzi cari aja di internet atau pakai AI.

4. Pengekangan Kebebasan dan Demokrasi

Di bawah rezim Orde Baru, kebebasan berekspresi dan berdemokrasi sangat dibatasi. Pers dibredel, aktivis diculik, dan oposisi politik ditekan. Semua ini dilakukan demi mempertahankan kekuasaan yang sentralistik.

Mana bisa kita leluasa kritik atau nyinyir di media sosial seperti saat ini. Gak bakal bisa. Karena zaman Soeharto rakyat belum bisa internetan dan belum ada medsos juga. Ini argumen garing, njirrr.

Yang jelas, di zaman kekuasaan Soeharto, kita gak bebas mengkritik. Kalau kamu ketahuan kritis terhadap pemerintah, kamu bakal mengalami nasib seperti di film-film mafia di netflix atau vidio. Sudah langganan? Kalau belum, minta sama anggota dewan yang kalian pilih kemarin. 😛

5. Mengkhianati Semangat Reformasi

Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto sama artinya dengan mengkhianati semangat reformasi 1998. Gerakan mahasiswa dan rakyat yang menumbangkan rezim Orde Baru berjuang untuk Indonesia yang lebih demokratis dan bebas dari KKN. Meskipun banyak juga aktivis 98 yang durhaka terhadap reformasi. Saat berada dalam sirkel kekuasaan seperti saat ini, mereka pun terlibat dalam KKN dan upaya pembungkaman terhadap mahasiswa, aktivis, dan jurnalis, bahkan netizen yang kritis. Mungkin selama berpolitik, mereka kerasukan antek-antek Soeharto, jadi kelakuannya rada mirip.

Kesimpulan: Belajar dari Sejarah, Bukan Memujanya

Kita tidak bisa menyangkal bahwa era Soeharto memiliki dampak besar dalam pembentukan Indonesia modern. Namun, mengangkatnya sebagai pahlawan berarti kita mengabaikan sisi gelap sejarah dan penderitaan jutaan korban rezimnya.

Alih-alih terjebak nostalgia, mari kita jadikan era Soeharto sebagai pelajaran berharga. Indonesia yang lebih baik dibangun dengan menegakkan keadilan, menghormati HAM, dan memberantas korupsi — bukan dengan memuja figur kontroversial dari masa lalu.

Pahlawan sejati adalah mereka yang membawa kebaikan bagi seluruh rakyat, bukan yang memperkaya diri sendiri atas nama pembangunan. Mari kita fokus membangun Indonesia yang lebih baik, dengan belajar dari kesalahan masa lalu dan berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Saya tidak membenci Soeharto. Saya cuma ingin kita realistis dan obyektif. Soeharto banyak melakukan hal baik bagi bangsa ini. Kita harus berani menilai dan menyatakan yang baik ya baik, yang buruk ya buruk, tanpa tendensi kebencian, tanpa ada kepentingan partai politik apapun. Saya setuju kok Soeharto digelari Bapak Pembangunan. Itu harus kita apresiasi. Namun bukan berarti kebaikan itu tidak akan cukup untuk menghapus kejahatannya terhadap rakyat Indonesia yang hingga kita hidupnya ya gitu-gitu saja.

Apa pendapatmu? Komen dong! Jangan pertamax doang hehehe

4 responses to “Soeharto Cukup Jadi Bapak Pembangunan. Tak Layak Digelari Pahlawan.”

  1. Dwi Wahyudi Avatar
    Dwi Wahyudi

    Tidak ada pemimpin yang sejati, itu menurut pendapat saya pribadi. Tetap semuanya memiliki tujuan pribadi dibalik tugas dan wewenang yang diembannya.

    1. admin Avatar
      admin

      iya, sepakat. yang penting kita bersikap jujur dan realistis terhadap peran mereka. apa adanya.

  2. karmin Avatar
    karmin

    waduh…. gelar itu dah terlalu mewah….
    ga usah dikasih gelar apa-apa…..

    1. admin Avatar
      admin

      bener, mas. udah cukup ya itu aja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *