Film The Indigenous: Pertobatan Akademisi terhadap Masyarakat Adat

Time lapse matahari terbenam menutup film dokumenter berdurasi sekira 52 menit ini. Layar berubah hitam. Seolah menyimbolkan bahwa kita sedang berada pada era kegelapan. Era kebodohan manusia modern yang merasa lebih pintar dari masyarakat adat. Kita berada pada sebuah negara yang memaksakan modernitas dengan menafikan penghormatan atas eksistensi masyarakat adat sehingga bangsa multikultural ini kehilangan identitasnya dan rapuh dalam menghadapi bencana demi bencana.

Sutradara film ini, Muhamad Sridipo dan Rizky Pratama sepertinya ingin menyampaikan pesan bahwa masyarakat adat terbukti mampu bertahan hidup di tengah krisis ekonomi dan bencana. Masyarakat adat adalah komunitas yang visioner dalam menjaga relasi antara manusia dengan alam. Mereka tersebar di bumi nusantara ini dengan berpegang teguh pada 3 pilar kehidupan, yaitu Tuhan, Manusia, dan Alam. Dengan 3 pilar itulah masyarakat adat dapat hidup harmonis dengan alam dan aman dari berbagai bencana, seperti pandemi Covid-19, gempa bumi, banjir, dan bencana lainnya. Hanya satu bencana yang tak sanggup mereka hadapi yaitu kekuasaan (negara) yang tak pernah benar-benar peduli atas nasib mereka dan bahkan mendiskriminasi hingga saat ini.

The Indigenous adalah film dokumenter yang bisa kusebut sebagai pertobatan akademisi dalam membatasi masyarakat adat dengan definisi dan teori yang mendukung negara melakukan penjarahan atas keyakinan dan tanah mereka.

Andy Panca, menyatakan bahwa The Indigenous merupakan film dokumenter watchdoc dengan perspektif baru. Biasanya film-film watchdoc mewakili mata masyarakat yang menjadi subyek cerita. Misalnya dalam film tentang penggusuran, Watchdoc tidak menyajikan perspektif news sebagaimana media mainstream, yang menceritakan peristiwa namun mengangkat perspektif mata masyarakat yang kena gusur. Kali ini beda. Watchdoc memilih perspektif seorang peneliti sebagai narator di sepanjang alur film.

Watchdoc meminjam mata seorang akademisi, Dr. Samsul Maarif (Anchu) yang tidak sedang mengompilasi berbagai teori tentang masyarakat, agama, dan ekologi namun terlibat langsung, berbaur tanpa jarak, sehingga ia merasakan dengan pasti bagaimana kehidupan masyarakat adat Daya Luhur di Cilacap, Jawa Tengah dan Dayak Iban di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Yang Anchu dapatkan bukan sebuah kesimpulan namun sebuah pencerahan. Ia bukan akademisi yang hanya sekadar melakukan wawancara untuk menyusun hasil penelitian demi memenuhi target kredit akademis. Samsul Maarif ingin membuktikan bahwa stigma yang selama ini ditujukan kepada masyarakat adat adalah bentuk kegagalan kita -khususnya akademisi- dalam memahami masyarakat adat.

Zenzi Suhadi Direktur wahana lingkungan hidup yang turut menonton tayangan perdana The Indigenous di Teater Asrul Sani, Taman Ismail Marzuki (Rabu, 9 Agustus 2023) menyampaikan kesannya, bahwa film ini bisa menjadi sebuah pedoman untuk mengenali, siapa diri kita, siapa jati diri kita.

Menurut Zenzi, sejak awal gerakan masyarakat adat lahir bukan sekadar melakukan perlawanan terhadap eksploitasi tapi juga melawan kutub pengetahuan yang datang dari universitas namun tidak manusiawi. Karena merekalah yang menuntun datangnya ekspoitasi. Para akademisi itulah yang menggiring mesin penghancur untuk merusak hutan dan tanah mereka.

Ritual dan kekeramatan yang biasa dilakukan masyarakat adat merupakan pengetahuan, yang sampai hari ini bisa membuat kita bisa menyaksikan air jernih seperti yang digambarkan dalam film The Indigenous. Akademisi mana yang bisa menghadirkan air jernih seperti yang masyarakat adat lakukan?

“Ada sangat banyak pengetahuan di setiap lapisan cara hidup masyarakat adat. Seperti saat kita sedang mengupas bawang. Setiap lapisan dari siung bawang, memiliki pengetahuan yang dapat kita pelajari. Ada sangat banyak pengetahuan masyarakat adat yang perlu kita dokumentasikan.” Tutup Zenzi.

Salah satu pengetahuan yang bisa kita lihat adalah dalam membangun rumah. John Muhammad, seorang Arsitektur Genre Hijau, menyatakan bahwa arsitektur lokal masyarakat adat sangat sadar bagaimana batas antara yang dilindungi dengan yang terlindungi. Orang modern bisa membangun rumah yang megah namun ketika terjadi gempa, justru rumah yang megah itulah yang membunuhnya. Arsitektur lokal justru sebaliknya, rata-rata dapat melindungi manusia ketika terjadi gempa.

Sayangnya saat ini kita seolah merasa baik-baik saja ketika pengetahuan masyarakat adat punah, bahasa ibu juga punah, ritual, dan segala tradisi leluhur dianggap sebagai keanehan atau bahkan kesesatan.

Sri Palupi, dari Ecosoc Rights dalam kesempatan diskusi The Indigenous pun turut menyampaikan, “10 tahun sekarang ini adalah puncak dari ketidak-adaban arah pembangunan. Salah satunya adalah dengan lahirnya UU Ciptakerja. UU ini berpotensi merusak seluruh lapisan komponen masyarakat, baik itu buruh, petani, nelayan, dan salah satunya masyarakat adat. Itu merupakan penghancuran yang dirancang secara sistematis dengan memberikan kemudahan pada investasi ugal-ugalan yang tidak menganggap keberadaaan masyararakat lokal dan masyarakat adat.”

Masyarakat adat sejak dulu sudah memiliki tata ruang yang sistematis dan menjaga keseimbangan alam dan populasi manusia. Tapi pemerintah memiliki tata ruang sendiri yang memorakporandakan tata ruang masyarakat adat. Mereka punya cara cara tersendiri bagaimana memperkuat soliditas sosialnya kemudian bagaimana mereka menjaga lingkungannya, keberlanjutannya sehingga bisa hidup berkecukupan dengan hasil hutan.

The Indigenous juga melekatkan pesan di benakku, adat adalah identitas. Jika kita menyingkirkan masyarakat adat, sama saja kita membunuh identitas mereka. Sebaiknya kita keluar dari era kegelapan yang menganggap tradisi leluhur adalah sebuah kesesatan. Pemerintah harus menunjukkan itikad baik dengan tidak memaksakan masyarakat adat memeluk agama-agama centang biru, agama verified yang diakui negara.

Keluar dari Taman Ismail Marzuki, aku berpapasan dengan sekelompok anak muda yang mengenakan syal tenun dan berbagai ornamen etnik. Aku tergerak bertanya, “Keren amat. Tenun dari daerah mana nih?” Yang kutanya tak bisa menjelaskan. Tapi, ah, biarlah. Setidaknya mereka tak malu mengenakan ornamen tradisional. Setidaknya mereka merasa keren dengan ornamen etnik meskipun belum tahu pengetahuan yang tersirat pada setiap corak syal tenun yang mereka kenakan. Yeah, semoga poster The Indigenous tercecer di feed medsos mereka.

The Indigenous Official Trailer (Watchdoc)

Foto-foto: skrinsutan dari trailer The Indigenous (Watchdoc)


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.