Kedaulatan menurut kamus. kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi ada pada negara. Kalau kedaulatan rakyat, berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Begitupun kedaulatan Tuhan.
Nah, orang kita belakangan ini sering bilang kedaulatan digital. Kalau maksain ke kamus artinya kekuasaan tertinggi ada pada digital. Aneh gak sih?
Padahal maksudnya kan kedaulatan negara atas digital, negara atas data, negara atas rakyat, negara atas hukum. Sebab kedaulatan hukum, ya negara juga yg menentukan. Kedaulatan rakyat, ya… mana ada sih faktanya.
Nah (lagi) kembali ke kedaulatan digital. Ketika kita masih memakai diksi kedaulatan berarti pendekatannya adalah kekuasaan atau siapa yg berkuasa dan kerap represif.
Orang-orang yang senang mengulang-ulang “Kedaulatan Digital” biasanya memahami sebagai kuasa penuh atas seluruh produk, konten, dan layanan digital yang ada di Indonesia. Persoalannya produk dan layanan yang populer di negara kita ya tentu bukan buatan ANAK BANGSA tapi buatan orang luar. Non-pri hahaha… Lalu kita ingin menunjukkan kedaulatan dengan memaksa mereka mengikuti aturan kita.
Kalau kita memiliki kesan sebagai negara yang kredibel dalam menjalankan aturan sih mungkin platform digital luar mau aja. Itu persoalan utama, apakah pemerintah kita cukup kredibel untuk mendapatkan kepercayaan platform digital global?
Aku jadi membayangkan platform digital saat ini seolah rombongan turis yang terdampar di sarang penyamun. Apapun permintaan sang penyamun harus dituruti karena kalau tidak, ancamannya ngeri. Beberapa platform ada yang mencoba negosiasi. Ada yang anggap raja penyamun masih bisa digoyanglah dikit. Apalagi rakyat di sarang penyamun kan sudah ketagihan sama produk dan layanan platform tersebut. Karena ada yang coba nego, wajar kalau kadang-kadang sang penyamun terlihat seram, kadang plinplan, kadang panik sendiri, dikerjain turis yang keras kepala.
Mestinya disadari bahwa kedaulatan digital itu merupakan kekuasaan negara atas infrastruktur, produk, konten, dan layanan buatan anak bangsa, bukan buatan orang lain. Itu pun kalau mau dianggap berdaulat atas platform kreatif buatan anak negeri. Dan itupun kalau paham berdaulat itu untuk apa. Sayangnya kita harus berbesar hati dikuasai oleh pejabat² yang blo’on memahami kedaulatannya.
Wujud kedaulatan negara atas digital sewarasnya adalah kekuasaan untuk menjamin data pribadi rakyatnya aman berada dalam platform digital. Fokusnya ke situ, bukan ke khawatiran kontennya asu apa nggak. Lagi pula, seasu-asunya konten kalau pemrosesan data pribadinya ajeg ya lebih baik. Daripada kontennya positif tapi pemrosesan data pribadinya ambyar.
Btw Mr. Ambyar bakal parah gak sakitnya kalau dipanggil lagi? Dua pemanggilan kemarin sih letoy.
Jika pengelola negara ini masih memahami “kedaulatan digital” sebagai kekuasaan pemblokiran, maka kita masih akan panjang menjadi bangsa user bukan bangsa kreator. Setinggi-tingginya ya paling sebagai bangsa content creator yang menghamba pada algoritma platform digital. Imajinasi bangsa kita hanya bikin konten demi jutaan viewer, bukan bikin platform yang bisa dipakai milyaran orang di dunia.
Aku yakin banget akan begitu track bangsa kita selama pemerintahnya masih menganggap kekuasaan adalah alat untuk membatasi kebebasan berekspresi, membatasi peredaran konten digital, membatasi peredaran film, buku, poster, atau muka kita yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
Barusan sekelebat imajinasiku. Seorang bocah SMP di negara lain bertolak pinggang dan menyapaku, “cuma segitu kemampuan pemerintah lo?”
Setelah ini harapanku pemerintah maupun parlemen insyaf, menyadari bahwa sebelum berdaulat atas digital sebaiknya berdaulat dulu atas keamann data pribadi rakyatnya. Segeralah sahkan RUU PDP, sebab jika itu sah, kita bisa sama-sama belajar bahwa data adalah aset digital dan peran negara adalah menjamin keamanan data tersebut. Selama RUU PDP belum beres, jangan bikin malu dengan berkoar tentang kedaulatan data, kedaulatan digital. Please, jangan bikin malu melulu. Kasihan emak lu, Tong!
Leave a Reply