Dulu, temanku pernah kepingin seperti tetangganya yang sering makan di restoran. Ia membayangkan makanan yang kelihatan enak dan memuaskan. Aku mengajaknya makan di restoran yang ia inginkan. Kutanya padanya setelah gagal menghabisi porsinya dan membungkus sisanya, “Gimana, enak?” Ia bilang kenyang. Kutanya lagi, “Gimana rasanya makan seperti ini?” Ia juga bilang kenyang. Kutanya lagi, “Perasaanmu gimana sekarang?” Ia bilang puas karena bisa makan seperti tetangga yang telah menginspirasinya.
Makan karena lapar amat berbeda rasanya dengan makan ketika nafsu. Ketika kita sedang merasakan lapar, bahkan teramat lapar, akan terasa nikmatnya walaupun hanya makan nasi dingin dan taburan garam atau terasi bakar. Begitupun sebaliknya, jika kita makan dalam keadaan tidak lapar, tak akan terasa nikmat, hanya akan terasa kenyang. Apalagi jika kita makan cuma untuk gaya dan pamer, bisa jadi kita merasakan kenikmatan semu. Kenapa saya anggap kenikmatan semu? Karena selain kenyang, makan karena gaya hanya akan menimbulkan kepuasan, bukan kenikmatan.
Jika kita melakukan sesuatu hanya karena ingin mengikuti apa yang dilakukan orang lain, bisa jadi itu adalah luapan nafsu, bukan karena butuh. Padahal apa yang dilakukan orang lain itu adalah kebutuhannya, yang memang berbeda kelas dengan kita. Begitulah nafsu, tak melihat kelas.
Tentu berbeda, kebutuhan orang yang bergaji di atas sepuluhjuta per bulan, dengan yang bergaji duajuta apalagi yang di bawah UMR. Secara materialistik, yang bergaji rendah akan sulit menyamai kebutuhan kelas di atasnya. Dan akan sangat tersiksa jika ia memaksakan diri untuk bisa sama. Dampaknya jika tak berhasil memaksakan diri, akan menimbulkan kedengkian sehingga mudah mencurigai orang yang mendapatkan sesuatu yang lebih besar darinya.
Jika kita menginsyafi perbedaan gaji tersebut secara spiritual, bisa jadi kenikmatannya sama saja. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual akan menginsyafi perbedaan rejeki biasa saja. Ia terbebas dari belenggu nafsu. Penghasilannya, walau berbeda nominal, tetap akan memiliki value yang sama, memiliki kenikmatan dan kemanfaatan yang sama. Ia menyadari, perbedaan nominal berbanding lurus dengan perbedaan kebutuhan.
Seperti tukang gorengan yang saya temui di tengah perseliweran. Ia menjalani kehidupan apa adanya. Memenuhi kebutuhan berdasarkan penghasilan, bukan atas dasar nafsu. Ia sanggup memerdekakan diri dari belenggu nafsu yang menyiksa dan menjengkelkan.
Pemahamannya tentang nafsu, lapar, nikmat, dan puas, juga berlaku dalam segala aspek kehidupan. Bukan hanya dalam soal makan saja. Jangan merasa hanya orang lain saja yang diberikan rejeki oleh Tuhan, sehingga sepeserpun yang kita dapat, kita dustakan. Jangan hanya merasa orang lain saja yang disayang Tuhan, sehingga kasih sayang-Nya selalu kita dustai.
Leave a Reply