Tak sedikit warganet khawatir, jika Pilkada 2020 tetap dilaksanakan, sama saja dengan menciptakan kluster penularan Covid-19. Untuk menjelaskan kekhawatiran itu, aku punya fakta di lapangan.
Pemerintah dari Presiden, Gubernur, hingga RT mengarahkan agar kita mematuhi protokol kesehatan. Arahan tinggal arahan, aturan tinggal aturan. Semua kembali ke diri sendiri, bagaimana memastikan tak “ketiban sial” kena COVID-19.
Saat terpaksa berada di ruang publik maupun dalam sekotak bus, sebaiknya hindari kerumunan. Jangan memaksa masuk jika penumpang sudah berjubal. Masih banyak armada berikutnya yang kosong.
Mau lihat faktanya, datanglah sendiri ke halte bus. Naiklah moda transportasi publik TransJakarta. Aku ajak kalian wahai pejabat kelas pusat maupun politikus elite yang kalau ke mana-mana dijaga Voojrider. Berani kalian lakukan ini: masuk dalam kerumunan rakyat jelantah di halte bus dan sekotak bus Transjakarta.
Kalian akan lihat sendiri betapa rakyat kita terbiasa berkerumun. Mulai dari antrean gate halte, berdesakan di pintu halte, hingga di dalam bus. Percuma saja itu ada tanda silang di kursi bus jika masih ada yg dibiarkan bebas berdiri sejengkal dari dengkul penumpang lainnya.
Itu di bus. Bagaimana di pesawat terbang? Boleh jadi kalau di bus bapak-ibu pejabat nggak sempat menyaksikan kebiasaan rakyat kita berkerumun. Kalau naik pesawat kan mereka biasa.
Minggu lalu aku ke Medan. Berangkat dari Soeta ke Kualanamu. Pulang dari Kualanamu ke Halim. Apakah penumpang pesawat tertib jaga jarak?
Foto itu kuambil saat pesawat baru saja berhenti. Pintu keluar pun belum dibuka tetapi para penumpang sudah berkerumun ingin keluar lebih cepat. Mereka pakai masker? Yes! Tapi berhimpitan. Protokol jaga jaraknya ditebas oleh berbagai alasan entah apa.
Sejak sebelum Covid-19 menyerang, aku biasa turun paling akhir. Kupikir ngapain juga berhimpitan kayak penumpang KRL tetapi rakyat kita sudah biasa berkerumun, wahai bapak-ibu politikus yang terhormat. Kalian tak pernah melihat yang kayak gini? Jika tak pernah, terpujilah. Berarti kalian memang hidup di tengah lingkungan elit saja sampai tak pernah menyaksikan fakta seperti ini.
Fadjroel ini mungkin lupa pernah miskin dan hidup dalam kerumunan. Beberapa tahun sukses menjadi bagian elit penguasa jadi rusak ingatannya tentang kebiasaan rakyat berkerumun.
Gini Djroel. Mana yang lebih penting antara hak politik dan hak hidup? Apakah hanya hak politik (dipilih dan memilih) yang konstitusional sehingga kamu tak mempertimbangkan resiko berkerumun dan menjadi klaster penularan Covid-19 baru?Apa kamu nggak mikir jika pilkadut 2020 tetap dipaksakan, akan mengorbankan rakyat dengan tertular Corona. Siapa yang bisa menjamin orang yang berkumpul saat kampanye maupun saat pemilihan bebas dari virus? Lha wong berkumpul di warung kopi saja dilarang.
Kalian lalu berpikir, akan menyediakan petugas penertib protokol. Untuk menjawab itu, kalian tonton fakta yang kualami ini. Aku diperiksa suhu tubuh oleh petugas tetapi petugas yang lain tak becus pakai masker. Itu fakta baru kemarin, kawan!
Ya, semua kembali ke nurani masing-masing. Tulisanku ini bukan paksaan apalagi hinaan. Ini hanya pendapatku sebagai rakyat jelantah yang masih tetap harus kelayapan agar bisa kasih makan keluarga dan menjamin anak-anak bisa lancar PJJ. Jika kalian tetap maksa pilkada ya terserah. Lha wong kalian lagi berkuasa. Bebas aja. Bebas tanpa tapi aku sih. Silakan. Hanya dua pilihannya seperti judul di atas.
Leave a Reply