/Social Dilemma: Kengerian dan Keranjingan

Apakah media sosial diciptakan untuk menjadikan penggunanya ketergantungan? Apakah para ahli dari platform media sosial sengaja ingin merasuki kehidupan personal kita? Apakah platform yang kita pakai setiap hari sengaja dibuat untuk menjebak kita dalam suatu kepentingan “bisnis model” tanpa kita sadari?

Semua fakta tentang pemantauan, pengumpulan data, kekuatan algoritma, dan kecanduan dibabarkan dalam film /Social Dilemma Jeff Orlowski. Film berdurasi sekira 90 menit itu, mengungkap bocoran beberapa mantan karyawan Twitter, Google, Apple, Facebook, Uber, Instagram, dan lainnya. Mereka menceritakan keprihatinan atas apa yang sudah mereka buat.

Tak ada niat jahat dari para pencipta media sosial. Mereka memiliki kreativitas dan niat yang positif untuk perkembangan peradaban manusia. Namun, sistem yang mereka kembangkan ternyata berubah menjadi monster tak terkendalikan dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu demi meraih keuntungan dengan mengabaikan kebenaran dan kode etik.

Film ini menggambarkan bagaimana Artificial Intelligence (AI) bukan hanya sekadar menjalin interaksi antarpengguna tetapi benar-benar merasuki alam bawah sadar. Kita mungkin mengalami sendiri bagaimana senangnya ketika unggahan kita mendapatkan respon berupa like, comments, dan share. Sebaliknya kita akan merasa sedih ketika postingan sama sekali tak mendapat respon. Akhirnya kita hapuslah itu postingan yang “nggak laku”. Situasi personal yang kayak gitu dihadirkan /Social Dilemma dalam adegan Isla (Sophia Hammons).

Sophia Hammons sebagai Isla dalam /Social Dilemma (Netflix 2020)

Dramatisasi mengerikannya AI juga digambarkan dalam sosok Ben (Skyler Gisondo) gagal puasa gadget yang menyebabkan rusaknya romantisme dengan pacarnya. Di tengah patah hati Ben menjadi rentan terhadap radikalisasi yang propagandanya disuguhkan melalui media sosial. Tak ada anggota keluarga yang bisa membatasi pergerakan Ben sebab mereka tak ada yang tahu apa yang sedang diminati Ben. Hanya AI media sosial yang tahu Ben sedang di mana, sedang apa, dan bahkan mau apa.

Apa yang diungkap para mantan karyawan media sosial, filsuf, penulis buku, peneliti kesehatan jiwa, dan lain-lain seolah menebarkan betapa mengerikannya media sosial. Kita tak sadar telah menjadi target dari model bisnis platform media sosial. Tak ada yang menyadari kalau kita adalah produk gratisan yang dijual oleh platform untuk pemasang iklan. Dalam konteks politik pun media sosial begitu efektif untuk memecah-belah dan merasa paling benar. Untuk hal ini orang indonesia sudah mengalaminya sendiri di dua kali Pemilu 2014 dan 2019. Mungkin mereka masih akan melanjutkan sebagai zombie politik di tahun 2024 nanti. Semoga lu nggak ya, Cuy!

Apa solusi dari kengerian dan keranjingan yang diumbar dalam /Social Dilemma? Apakah regulasi pemerintah bisa mengendalikan algoritma platform? Hehehe… Jangan-jangan aparat pemerintah malah terbius dalam penjara algoritma dari platform itu sendiri. Apakah forum-forum tukang berkoar tentang Tata Kelola Internet (Internet Governance Forum) bisa memberikan rekomendasi yang applicable sebagai kebijakan pemerintah dalam mengendalikan platform media sosial?

Aku melesat ke belakang di era ketika koran baru menjadi primadona. Di era ketika kaum terpelajar dan aktivis merasa belum hidup ketika belum sarapan koran. Sebenarnya koran tak dicetak tanpa rencana. Sama saja seperti yang dikhawatirkan terhadap media sosial, bahwa pembaca adalah produk yang dijual untuk pengiklan dan investor koran. Arahan sikap politik pun saat itu diorkestrasi melalui koran, lalu majalah, lalu tabloid, dan brosur-brosur. Apakah kita bisa mengendalikannya? Hanya pemerintah yang bisa dengen senjata pembreidelan. Tapi pembreidelan bukan tanpa perlawanan. Banyak pihak yang melawan pembreidelan hingga akhirnya kita hidup dalam era kebebasan pers yang lebih ambyar saat ini.

— balik ke /social dilemma

Kembali lagi ke dilema media sosial. Menurutku pilihannya hanya ada dua: Mengendalikan algoritma media sosial atau Mengendalikan diri terhadap media sosial. Buat kita paling hanya pilihan kedua, yaitu mengendalikan diri terhadap medsos sebab para mantan pembuat algoritmanya pun -yang tampil dalam /social dilemma- tak bisa berbuat apa-apa selain meninggalkan ciptaannya dan berharap kita akan baik-baik saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *