Netizen dan Media Online ramai membahas apakah pemerintah perlu memulangkan kaum pejihad dari Suriah. Kalau saya baca secara acak, kebanyakan netizen tidak setuju para pejihad ISIS itu dipulangkan kembali ke tanah air. Satu-satunya alasan yang mengemuka adalah takut mereka kembali membuat onar di negaranya sendiri. Mereka tak yakin orang-orang yang telah membenci Indonesia bisa kembali dengan tulus. Apa lagi dari beberapa kasus terorisme yang ada, dilakukan oleh pejihad yang pernah dididik di luar negeri. Jadi pertimbangan ancaman keamanan rakyat lebih logis ketimbang pertimbangan belas kasihan terhadap para pengkhianat.
Sekali berkhianat maka selamanya bermental pengkhianat. Itu adalah ungkapan yang dipercaya dalam top of mind masyarakat kita. Kita masih ingat bagaimana para jihadis itu dengan bangga membakar Paspor yang diterbitkan oleh pemerintah yg mereka tuding sebagai thagut. Betapa bangganya mereka telah berada di negeri Islami dan siap berjihad. Betapa bangganya mereka melatih anak-anak dalam dunia jihadis, dunia syahid.
Video seperti di atas adalah salah satu yang ramai kembali ditampilkan netizen kita. Mereka ingin mengingatkan pemerintah bahwa orang-orang yang kini berharap belas kasih pemerintah adalah para pengkhianat. Mereka yang dulu berteriak ingin mencapai kematian syahid rupanya sekarang takut mati. Kini mereka berharap belas kasih pemerintah Thagut yang kerap mereka benci dan bahkan ingin mereka hancurkan.
“Bacotmu fana, jejak digital abadi”
Kong Haji Rohimin — Guru Ngaji di Kampung Kapitan
Benarkah Mereka Ancaman?
Kalau bicara soal ancaman atau bukan, siapapun bisa menjadi ancaman di negara yang memang lebih banyak berpihak kepada kaum borjuis ini. Bahkan petani yang tanahnya dikuasai juragan tambang pun sebenarnya ancaman buat negara sebab negara punya andil dalam pertambangan tersebut. Tapi setop dulu nyinggung soal ini atau mending nonton film Linimassa 3 saja.
Kalau orang di dalam negeri yang cinta tanah airnya saja saja bisa dianggap ancaman negara, apa lagi mereka yang sudah jelas-jelas membenci negaranya. Jadi sudah tentu kedatangan mereka bisa jadi ancaman bagi masyarakat. Mana ada orang normal yang mau hidup bersama orang-orang yang kapan saja bisa meledakkan bom karena mereka anggap bom bunuh diri adalah cara terlezat untuk mati. Kalau mati sendiri sih nggak masalah, persoalannya mereka senang sekali mengajak mati orang lain yang masih belum mau mati karena cicilan motornya belum kelar. Siapa yang bisa menjamin mereka aman? Tahu-tahu mereka meledak di kerumunan warga yang lagi antre bayar cicilan ke rentenir. Mati meninggalkan cicilan utang ke anak-cucu adalah kematian yang paling menyedihkan. Sumpah!
Adakah Manfaat Pengkhianat?
Para pengkhianat ini di manapun akan dianggap pengkhianat. Negara sudah tentu anggap mereka pengkhianat karena sudah jelas mereka anti pancasila. Tetapi antek-antek keamanan negara entah BNPT, Densus88, BIN, bisa saja memanfaatkan mereka untuk program deradikalisasi maupun kontraradikalisasi. Para kombatan ini biasanya sering diberikan kesempatan bicara untuk menjelaskan bahwa mereka telah tersesat dan mereka menyesal menjadi pejihad ISIS. Harapannya banyak masyarakat yang menyadari bahwa hijrah ke ISIS maupun negara lainnya yang anti NKRI adalah jalan penuh penyesalan.
Tapi apa benar itu bermanfaat buat masyarakat? Yang butuh itu masyarakat kita yang cinta damai dan cinta cicilan atau mereka yang terpapar radikalisme melalui jejaring pejihad yang biasanya bergerak di bawah tanah?
Yang perlu sih memang para undur-undur (undergrounder) itu tetapi sikap mereka terhadap para kombatan itu biasanya antipati. Bahkan darah para eks pejihad itu dihalalkan karena mereka dianggap telah berkhianat terhadap khilafah. Sikap mereka terhadap pengkhianat dan munafik itu bisa jadi lebih kejam dari antek negara.
Jadi bagaimana dong? Percuma dong kalau eks kombatan atau pengkhianat itu dimanfaatkan untuk menjadi penawar agar bisa menyadarkan halu kawan-kawan pejihadnya?
“Paling tidak kita bisa pakai mereka buat edukasi ke anak-anak muda jangan sampai terpapar radikalisme!”
Bang Bontot — Ketua RT seumur hidup di Kampung Kapitan
Rocker Juga Manusia
Ini lagunya Seurieus. “Rocker juga manusia punya rasa punya hati / Jangan samakan dengan pisau belati”. Kita semua manusia kecuali mereka yang merasa paling suci. Termasuk para pengagum ideologi khilafah dengan bendera ISIS ini. Siapa sih manusia yang nggak pernah punya kesalahan?
Abaikan iklan Bang Namun dan Mpok Geboy barusan. Kalau kita lihat dari rasa belas kasih memang kasihan anak-anak yang dipaksa orang tuanya hijrah ke ISIS. Mereka bisa dikategorikan sebagai korban. Mereka tak berdaya karena paksaan orang tuanya. Terhadap anak-anak seperti ini apakah kita tega membiarkan mereka membusuk dalam kamp pengungsian di sana? Oke, boleh jadi ada anak-anak yang menjadi militan terhadap ISIS tetapi anak-anak yang menyesal sejak menjejakkan kaki di sana bagaimanapun adalah korban kejahatan ayah-ibunya.
Apakah anak-anak korban itu harus dipisahkan dari orang tuanya? Itu harus kita kembalikan kepada anak-anaknya apakah mereka ingin tetap bersama ayah-ibunya yang telah menjahati mereka atau ingin kembali ke kampungnya, hidup bersama kerabat keluarganya, atau ditampung oleh negara. Kita punya KPAI dan Kementerian yang urus perempuan dan anak.
Apakah anak-anak ini bisa jadi ancaman? Ya, kalau bicara ancaman bisa saja tetapi apakah kita tidak yakin pada kemampuan kita mendidik dan memperbaiki mental mereka? Saya sendiri yakin jika diberikan tanggung jawab mendidik anak-anak korban radikalisme, bisa saya lakukan. Justru dari trauma mereka terhadap kejahatan ISIS yang mereka lihat sendiri sehari-hari, kita bisa menanamkan nilai-nilai kedamaian yang tidak pernah mereka rasakan. Persoalannya apakah negara benar-benar akan memelihara anak-anak seperti ini? Lha wong terhadap anak-anak terlantar di jalan saja negara abai.
Rehabilitasi Mental dan Kultural
Mereka yang ingin pulang tidak semudah itu dipulangkan. Perlu ada pemeriksaan mendalam tentang siapa yang levelnya inisiator, perekrut, dan siapa yang korban. Perlu ada prioritas untuk menentukan siapa yang bisa pulang dan tidak. Itu pun dengan tidak mengabaikan proses hukum. Bagaimanapun mereka adalah orang-orang yang telah melanggar hukum jadi proses hukumnya tetap harus berjalan kecuali terhadap korban.
Korban adalah prioritas untuk mendapatkan rehabilitasi mental dan kultural. Selama ini mereka dibutakan –oleh seniornya bahkan oleh orang tuanya– tentang kearifan dan keragaman budaya kita. Mereka tercerabut dari akar kulturalnya oleh sebab itu rehabilitasi mental dan kultural adalah prioritas dalam rehabilitasi mereka.
Program ini juga perlu diberikan kepada anak-anak pelajar yang ada di negeri ini. Masih ingat kasus intimidasi terhadap siswa yang tak memakai jilbab? Nah, pengurus Rohis yang seperti itu perlu direhabilitasi mental dan kulturalnya. Memang mereka tidak ke Suriah dan boleh jadi belum terindikasi hijrah ke khilafah, tetapi tetap saja itu ancaman yang sama.
Pemerintah Jokowi periode kedua mencanangkan perlawanan terhadap radikalisme dan terorisme. Kita lihat saja sejauhmana program tersebut berjalan. Apakah kementerian yang dikaitkan dengan urusan radikalisme bisa bekerja sama dalam melakukan deradikalisasi atau malah akan berlomba-lomba mengejar uang proyek deradikalisasi saja?
Kembali ke para jihadis yang kini menunggu belas kasih pemerintah thagut. Menunggu kepastian apakah mereka dipulangkan atau tidak seperti main judi koprok. Kita tak perlu ngotot jika ternyata keputusan pemerintah berbeda. Anggap saja tebakan kita salah. Kalau mereka dipulangkan, kita harus lebih waspada. Kalaupun mereka tidak dipulangkan, tenang saja, masih banyak jaringan teroris yang kapan saja bisa beraksi meskipun jejaringnya sudah dipetakan oleh POLRI.
Oh iya, aku juga mencuitkan opiniku soal repatriasi ini di Twitter.
Leave a Reply