“Saat banyak orang minta parcel, sopir grabbike malah minta cancel.” ~ Bang Namun
Alasan selalu dicari-cari agar dimaklumi. Itu yang kusimpulkan dari beberapakali menelpon sopir ojeg online yang menerima pesananku namun mereka meminta agar aku membatalkan order tersebut. Sejak pertamakali memakai jasa ojek online, entah itu Gojek atau GrabBike, aku belum pernah sekalipun membatalkan pesanan. Sederhana saja alasannya, aku tak ingin memutus jalur rezeki yang menjadi limpahan mereka. Pernah beberapakali sopir ojeg lama banget menjemputku, lebih dari 10 menit, tetapi tak kubatalkan. Wajarlah, banyak sopir ojek online yang belum terbiasa membaca peta. Tersebab itu mereka rada terhambat menuju lokasi penjemputan. Aku berharap semakin terbiasa menggunakan aplikasi ojegnya, mereka semakin cerdas dalam membaca peta.
Ketidaktegaan membatalkan pesanan (cancel) akhirnya kalah juga. Beberapakali aku terpaksa membatalkan pesanan karena satu-satunya alasan: Saat aku telepon, sopir mengemukakan berbagai alasan yang ujungnya minta agar aku membatalkan pesananku. Ada yang alasan tiba-tiba bannya bocor saat menuju lokasiku, meskipun melalui GPS aku melihat ia belum beranjak dari lokasinya menuju lokasiku. Ada juga yang beralasan kehabisan bensin. Semalam bahkan ada alasan baru, “masih di jalan” dan minta di-cancel. Temanku lainnya pernah diminta membatalkan pesanan karena sopir ojeg online beralasan kalau lokasi tujuannya tak searah dengan tujuannya pulang. Bah! Kalau memang tak searah, kenapa menerima order?
Beberapa sopir GrabBike yang kutanya soal permintaan pembatalan menjelaskan alasan yang sebenarnya. Lho, koq GrabBike? Bukankah ojeg online ada Gojek, UberMotor, dan lainnya? Aku sih memang cuma pakai dua layanan ojeg online, yaitu Gojek dan GrabBike. Dua layanan itu menurutku cukup memenuhi kebutuhanku dalam hal transportasi alternatif di Jabobetabekdung. Dung, buat Bandung. Sebab selain di Jabodetabek, baru Bandung saja kota di mana aku pernah menggunakan Ojeg Online.
Alasan beberapa sopir GrabBike yang minta dibatalkan ada pada satu penyebab, yaitu sistem tembak. Maksud dari sistem tembak ini adalah, mereka “dipaksa” sistem GrabBike menerima order pelanggan. Sebelumnya mereka bisa memilih setiap order yang bersliweran. Sejak GrabBike menetapkan sistem “tembak”, mereka jadi tak bisa memilih pesanan. Alhasil, seringkali mereka harus mengantarkan pelanggan yang jauh dari jalur yang mereka inginkan.
Pernah seorang sopir GrabBike bercerita. Ia mau pulang ke rumahnya di sekitar Ciledug. Tetapi dari FX Sudirman, ia mendapatkan order ke Bekasi. Sebenarnya ia enggan menerima order tersebut, tetapi karena ia pun tak tega membatalkan pesanan, terpaksa ia mengantarkan pelanggan ke Bekasi. Di hari lainnya ia terpaksa mengantarkan pelanggannya ke Beji, Depok. Padahal ia sudah kepingin pulang karena sudah lelah ngojek dari pagi hingga malam.
Mungkin manajemen GrabBike punya alasan kenapa menerapkan “sistem tembak” tersebut. Entah apa alasannya, tentu tujuannya agar tak ada pelanggan yang tak terlayani karena sopir bebas pilah-pilih tujuan. Namun sistem tersebut tak diduga memunculkan perilaku sopir yang sejujurnya, menyebalkan. Banyak alasan yang mereka buat agar kita sendiri yang membatalkan pesanan. Sebab jika sopir yang membatalkan sendiri, mereka tak mau menerima risiko dari pembatalan tersebut. Mereka nggak mau rugi, dan terpaksa merugikan pelanggan.
Ya, itulah kenyataan menggunakan aplikasi Ojeg Online. Apakah aku kapok memakai layanan ini? Jelas tidak. Bagaimanapun layanan ojeg online amat kubutuhkan untuk menembus kemacetan Jakarta yang nyaris bikin kita mengurut dada. Mau protes soal kemacetan, mana mungkin digubris. Toh, mungkin pemerintah DKI Jakarta juga mentok sana-sini untuk mengurai persoalan macet ini.
Akhirnya, aku jadi jarang pakai GrabBike karena kuatir mendapatkan sopir yang memintaku membatalkan pesanan.
Leave a Reply